Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Fajar Marta

Wartawan, Editor, Kolumnis 

Properti dan Kredit Perbankan yang "Mampet"

Kompas.com - 23/06/2016, 06:53 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorHeru Margianto

Kejatuhan harga komoditas secara drastis telah membuat banyak perusahaan gulung tikar, terutama yang bergerak di sektor pertambangan. Akibatnya, kredit yang mereka pinjam tak bisa dilunasi.

Penyaluran kredit yang jor-joran di sektor mikro juga menjadi bumerang tatkala perekonomian memburuk.

Sektor mikro yang belum mapan dan baru beroperasi memang rentan terhempas gejolak perekonomian.

Jadi saat ini, mampet-nya penyaluran kredit bersumber dari dua sisi sekaligus.

Dari eskternal perbankan, kredit mampet karena permintaan kredit sangat minim. Sangat sedikit sekali, perusahaan yang melakukan investasi dalam kondisi perekonomian seperti saat ini.

Buktinya, undisbursed loan atau komitmen kredit yang belum dicairkan meningkat tajam.

Adapun dari internal, perbankan saat ini betul-betul mengerem penyaluran kredit ke sektor-sektor yang dianggap berisiko.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sejumlah sektor yang NPL-nya tinggi antara lain sektor perdagangan, industri pengolahan, pertambangan, dan transportasi.

Pertanyaannya, jika tidak menyalurkan kredit, lalu darimana industri perbankan mendapatkan untung?

Dalam kondisi saat ini, tentu saja perbankan akan memainkan suku bunganya.

Caranya, dengan menurunkan bunga simpanan secepat mungkin dan menurunkan bunga kredit selambat mungkin.

Berdasarkan data statistik perbankan yang dirilis OJK, rata-rata suku bunga deposito turun 57 basis poin (bp) dari 7,94 persen pada akhir Desember 2015 menjadi 7,37 persen pada akhir April 2016.

Namun, selama periode yang sama, rata-rata suku bunga kredit hanya turun 22 bp dari 12,83 persen menjadi 12,61 persen.

Artinya spread suku bunga simpanan dan suku bunga kredit makin melebar.

Dengan strategi ini, bank tidak hanya bisa mempertahankan margin bunga bersih (net interest margin/NIM), tetapi bahkan meningkatkannya.

Pada akhir April  2016, NIM perbankan nasional mencapai 5,56 persen, meningkat dibandingkan akhir tahun 2015 yang sebesar 5,39 persen.

Praktik yang dilakukan perbankan tersebut tentulah bukan solusi yang diharapkan. Sebab, cara itu justru akan menjadi bumerang bagi perekonomian.

Jika bunga kredit tetap tinggi, pelaku usaha makin enggan meminjam kredit untuk melakukan ekspansi. Dampaknya, penyaluran kredit akan makin mampet.

Properti

Melihat kondisi ini, OJK dan Bank Indonesia mau tak mau harus mendorong agar penyaluran kredit tetap bisa tumbuh.

Karena perbankan tak begitu bernafsu menyalurkan kredit, maka yang harus digenjot  adalah sisi permintaan kreditnya.

Bagaimana merangsang masyarakat meminjam kredit?

Karena penurunan suku bunga tak bisa diharapkan menjadi solusi jangka pendek, maka deregulasi dan pelonggaran aturan pun menjadi pilihan.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com