Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dradjad H Wibowo
Ekonom

Ekonom, Lektor Kepala Perbanas Institute, Ketua Pembina Sustainable Development Indonesia (SDI), Ketua Pendiri IFCC, dan Ketua Dewan Pakar PAN.

"Reshuffle" Jilid 2 Memperkuat Sistem Presidensial, tetapi...

Kompas.com - 28/07/2016, 12:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorHeru Margianto

Ini pesan yang sangat penting bagi kabinet ke depan. Presiden memerintahkan soliditas. Jangan mencoba populer di media dengan membuat kegaduhan. Jika tidak, anda di-kepret sendiri oleh Presiden.

Keempat, Wapres, parpol pendukung, dan para menteri harus paham bahwa Presiden ini memiliki kultur Jawa Solo yang sangat kental.

Anda harus bisa membaca sinyal yang tidak diucapkan. Sama persis dengan Presiden Soeharto, meskipun Presiden Jokowi lebih "nyantai" orangnya.

Proyek kereta cepat dan reklamasi adalah contohnya. Kereta cepat terlambat karena berbagai hambatan birokratis. Dirjen Perkeretaapian dicopot dan sekarang Menteri Perhubungan Jonan.

Dalam rapat kabinet membahas proyek reklamasi, Presiden menegaskan perlunya kepastian usaha, tapi tetap harus sesuai peraturan. Menteri Rizal sepertinya kurang membaca sinyal yang sudah cukup keras ini untuk ukuran kultur Jawa.

Kelima, Presiden memberi sinyal kepada para menteri, "Apa pun latar belakang Anda, Anda harus bertindak profesional dalam koridor kebijakan politik Presiden".

Keberpihakan Presiden kepada Rini dan Luhut adalah buktinya. Keduanya mampu menggabungkan profesionalisme dengan politik.

Bahkan, dalam reshuffle ini Menteri Luhut lagi-lagi menjadi "Mr Fix It". Luhut bukan digeser, tapi ditugaskan membereskan "kekacauan".

Keenam, Presiden memilih hari yang unik untuk mengumumkan reshuffle.

Di satu sisi, 27 Juli dianggap sebagai "hari baik" bagi Presiden karena sesuai dengan hitungan weton Jawa. Namun, di sisi lain, 27 Juli adalah hari kelam bagi PDIP.

Saya yakin Presiden telah menghitung plus-minus faktor sejarah ini. Bahwa beliau tetap memilih 27 Juli, itu seperti mengatakan "I'm the man! It's my call!"

Dan itulah pesan terpenting dari reshuffle ini. I'm The Man. Ya memang sudah seharusnya begitu karena kita menganut sistem presidensial.

Untuk itu saya harus memuji Presiden dan "Mr Fix It" Menko Luhut karena bisa melakukannya tanpa harus menjadi Ketum/penguasa parpol. Ini positif bagi demokrasi dan tata pemerintahan kita.

Tapi...

Kalaupun saya mengkritisi, lebih pada masuknya salah satu pentolan Konsensus Washington (KW) di Indonesia, yaitu Sri Mulyani Indrawati. Sejak mulai tampil di publik pada 1999, saya selalu menentang penerapan ekonomi neoliberal atau fundamentalisme pasar.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com