Istana kemudian meminta PPATK untuk menggelar seleksi lagi dan menyampaikan hasilnya segera kepada Presiden. Padahal, hasil seleksi yang dilakukan PPATK sudah objektif dan komprehensif.
Langkah yang dilakukan Jokowi dalam seleksi pejabat PPATK tersebut bertentangan dengan objektivitas yang ditunjukkan Jokowi selama ini.
Tanpa objektivitas, “calon-calon titipan” akan kembali muncul. Dampaknya, calon yang terpilih bukanlah calon terbaik dari segi kompetensi dan integritas.
Jika ini terjadi pada PPATK, tentu sangat disayangkan. Bersama KPK, PPATK merupakan lembaga yang masih mendapat kepercayaan tinggi dari masyarakat.
Di tengah anjloknya integritas pejabat di berbagai lembaga, PPATK dan KPK seolah menjadi yang tersisa bagi publik untuk mengharapkan Indonesia bersih dari korupsi.
Selama ini, PPATK menjadi tandem KPK untuk mengungkap kasus-kasus korupsi yang membelenggu negeri ini.
PPATK memasok data-data dan analisis transaksi keuangan yang memudahkan KPK menelusuri modus dan pelaku korupsi dan pencucian uang.
Dapat dibayangkan, apa yang terjadi bila data-data yang dimiliki PPATK dikuasai oleh pejabat yang kurang memiliki integritas. Data-data tersebut tentu bisa hilang atau tidak ditindaklanjuti dengan semestinya.
Artinya, pemberantasan korupsi di negeri ini akan mandek. Apalagi, KPK selama ini juga terus dirongrong eksistensinya, termasuk teror kepada Novel Baswedan, penyidik andalam KPK.
Kini, PPATK pun coba dilemahkan dan ditumpulkan taringnya. Sungguh suram upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Kita hanya bisa berharap, Presiden Jokowi kembali konsisten dan objektif dalam memilih pejabat di negeri ini.