Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penjelasan BPN Prabowo-Sandi soal Target Rasio Pajak 16 Persen

Kompas.com - 18/01/2019, 17:30 WIB
Palupi Annisa Auliani,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

Bukti empiris tentang Kurva Laffer memang masih diperdebatkan. Yang dipakai Laffer sebagai bukti adalah pajak di Rusia, negara-negara Baltik, dan pajak dalam beberapa periode di Amerika Serikat.

Baca juga: Ini Kebijakan Fiskal yang Akan Diusung Prabowo-Sandiaga

Namun, ujar Dradjad, argumen yang menentang Laffer juga cukup kuat, terutama oleh mereka yang anti terhadap supply-side economics (SSE) Reagan. Laffer memang salah satu pendukung utama SSE, dan menjadi salah satu penasihat ekonomi Donald Trump dalam Pilpres 2016.

Strategi

"Apakah Kurva Laffer bisa menaikkan basis pajak dan rasio pajak di Indonesia? Secara logika, jawabnya bisa," kata Dradjad.

Alasannya, pertama, salah satu penyebab rendahnya basis pajak adalah karena maraknya profit shifting (pemindahan keuntungan) oleh perusahaan ke negara dengan tarif pajak yang jauh lebih rendah dari Indonesia.

Mereka membuat perusahaan perdagangan di negara dengan tarif pajak lebih rendah itu sehingga bagian terbesar dari keuntungannya berada di sana.

"Jika tarif pajak Indonesia dibuat kompetitif, mereka akan rugi melakukan profit shifting. Karena, biaya transaksi, administrasi, kepatuhan dan lain-lain menjadi relatif terlalu mahal dibanding pajak yang dihemat," papar Dradjad.

Kedua, tarif yang terlalu tinggi membuat wajib pajak rentan mencari peluang berkolusi dengan aparat pajak atau hakim pengadilan pajak.

"Biaya menyogok mereka jauh lebih murah dibanding membayar pajak dengan benar. (Namun), jika tarifnya turun, buat apa menyogok lagi?" kata dia.

Ketiga, dengan tarif yang rendah, kampanye kesadaran pajak bisa lebih efektif. Demikian juga dengan penegakan aturan perpajakan.

"Orang atau badan yang mampu tapi malas membayar pajak akan malu dengan kampanye itu. Sudah tarifnya rendah, kok masih ngemplang pajak, berarti Anda memang kebangetan," kata ekonom yang juga salah satu politisi dari Partai Amanat Nasional (PAN) ini.

Menurut Dradjad, negara justru akan memiliki posisi psikologis lebih kuat untuk menegakkan aturan perpajakan dengan langkah strategi ini, mulai dari intelijen pajak, pemeriksaan, hingga tindakan hukum.

Keempat, tarif pajak Indonesia memang relatif kurang kompetitif, termasuk dibandingkan negara tetangga.

"Mereka tarifnya lebih rendah tapi rasio pajaknya lebih besar dari kita," ujar Dradjad.

Kelima, penurunan ke tarif optimal tertentu diharapkan dapat memicu pertumbuhan menjadi 6 persen atau malah lebih.

Jadi, kata Dradjad, kue yang bisa dipajaki melalui pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), pajak perdagangan, pajak bumi dan bangunan (PBB), serta bea dan cukai akan membesar jauh lebih cepat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com