Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Mempertanyakan Alasan Pemindahan Ibu Kota

Kompas.com - 28/05/2019, 17:39 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Secara fundamental, Indonesia sudah menunjukkan hasil positif dalam mewujudkan pemerataan pembangunan dengan upaya desentralisasi, misalnya dengan kebijakan otonomi daerah dan Undang-Undang (UU) Desa.

Praktik desentralisasi memang menjumpai sejumlah tantangan, misalnya kurangnya kemampuan pemerintah daerah dalam pengelolaan urbanisasi serta dalam mengidentifikasi masalah kemiskinan dan tingkat pendidikan staf dan warganya.

Namun, penelitian SMERU terkait desentralisasi menunjukkan potensi daerah dalam menurunkan tingkat kemiskinan dan ketimpangan. Desentralisasi memungkinkan munculnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru, seperti Bantaeng (Sulawesi Selatan) dan Banyuwangi (Jawa Timur).

Dalam implementasi UU Desa, studi SMERU menunjukkan sejumlah intervensi pemerintah pusat yang seringkali mendadak dan tidak mempertimbangkan keragaman konteks dan kebutuhan wilayah setempat justru menghambat desa-desa melakukan inovasi dalam hal pemberdayaan ekonomi.

Salah satu contoh bentuk intervensi pemerintah pusat adalah dalam penentuan prioritas penggunaan dana desa. Mengapa pemerintah tidak membenahi perkara-perkara ini, sebelum memutuskan untuk memindahkan ibu kota negara?

Jangan sampai pemindahan ibu kota justru mengembalikan kesan bahwa penyelesaian segala masalah hanya dapat diatasi dengan intervensi dari pusat yang bersifat sentralistik dan berlawanan dengan semangat pemerataan pembangunan.

Kontradiksi daya dukung Jakarta

Alasan kedua yang digunakan pemerintah untuk mendukung pemindahan ibu kota adalah terkait daya dukung Jakarta yang dinilai tidak mampu menciptakan penyelenggaraan pemerintah yang kondusif.

Dalam paparan Bappenas, Jakarta terus mengalami tekanan penduduk akibat urbanisasi. Jakarta menghadapi situasi rawan gempa, banjir, dan terancam mengalami kelangkaan air bersih. Kualitas air sungai di Jakarta 61 persen tercemar berat. Selain itu, kemacetan di Jakarta mengakibatkan kerugian ekonomi sebesar Rp 56 triliun per tahun.

Situasi ini membuat pemerintah ingin memindahkan ibu kota untuk mengurangi beban Jakarta. Ibu kota baru akan didesain sebagai pusat pemerintahan dan terpisah dari pusat bisnis.

Konsep ini sama seperti yang dilakukan oleh Australia dengan Canberra dan Sydney. Demikian pula Malaysia dengan Putra Jaya dan Kuala Lumpur.

Namun, perlu diketahui bahwa kegiatan pemerintahan hanya membebani Jakarta kurang dari 10 persen. Lagi-lagi alasan yang dipakai kurang kuat.

Pemindahan ibu kota hanya terkesan sebagai upaya melarikan diri dari masalah penyakit kronis Jakarta yang perlu ditangani segera.

Jika tidak, kegiatan di Jakarta akan lumpuh dan mengganggu perekonomian Indonesia sebab 70 persen perputaran uang negara terjadi di Jakarta.

Selain itu, target Kementerian PPN/Bappenas yang akan menjadikan Jakarta sebagai pusat kegiatan global jika tidak lagi menjadi ibu kota juga menggunakan logika yang kontradiktif.

Untuk menjadi kota global, sebuah kota harus menjadi tempat terselenggaranya kegiatan berskala internasional, seperti menjadi pusat bisnis keuangan, destinasi pariwisata global, tempat kantor-kantor organisasi internasional, dan lokasi perhelatan kegiatan dunia. Ini dapat ditemukan pada kota-kota dunia, seperti London di Inggris, Tokyo di Jepang, dan Paris di Perancis.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com