Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Soal Gugatan Uni Eropa, Presiden Jokowi Tidak Perlu Takut...

Kompas.com - 13/12/2019, 16:49 WIB
Ade Miranti Karunia,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti dari Alpha Research Database Indonesia, Ferdy Hasiman, mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak perlu takut menghadapi gugatan Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) terkait pelarangan ekspor nikel Indonesia yang mulai berlaku sejak Oktober 2019.

Menurut dia, langkah presiden menyiapkan pengacara terbaik patut didukung.

“Indonesia adalah negara berdaulat. Pelarangan ekspor nikel dan mineral lainnya memiliki rujukan hukum sangat kuat. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara menjadi dasar hukum kita untuk berargumentasi secara hukum di WTO," kata Ferdy dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Jumat (13/12/2019).

Bagi dunia, kebijakan pemerintah terkait larangan ekspor mineral mentah Indonesia akan ikut memengaruhi industri tambang secara global mengingat peran Indonesia sebagai salah satu pemasok utama dunia.

Baca juga: Jokowi: Digugat Eropa, Ya Hadapi...

Gugatan Uni Eropa tersebut menurut dia masuk akal karena mereka paling terpukul dengan kebijakan larangan ekspor nikel.

Sebab, nikel Indonesia berkontribusi 32 persen terhadap nikel di dunia. Eropa sekarang mulai mendorong mobil listrik dengan tulang punggung nikel kalori rendah 1.8 persen dan mengandalkan bahan mentah dari Indonesia.

"Presiden tak boleh mundur lagi karena pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan mendorong pengembangan mobil listrik dengan bahan baku dari nikel untuk pembangunan baterai. Untuk itu, Indonesia harus mengamankan pasokan nikel," ujarnya.

Salah satu langkah strategis untuk mengamankan industri nasional, dia menyarankan, agar Indonesia mulai menghentikan mengekspor nikel mentah. UU Minerba memerintahkan semua perusahaan tambang yang sudah berproduksi wajib membangun pabrik smelter (pabrik pengolahan) dalam negeri agar memberikan nilai tambah bagi perekonomian.

"Semua perusahaan tambang harus taat hukum Indonesia. Di industri nikel, dengan kebijakan itu, kita tidak lagi menjual nikel ore (biji nikel) dalam bentuk mentah (harganya sangat rendah), tetapi harus diolah ke pabrik smelter. Seperti Nickle Pig Iron (NPI per 10 persen nilai tambah) atau Nicke inmate (15 persen). Dengan itu harga nikel menjadi lebih besar atau 17 kali lebih besar dibandingkan kita menjual biji nikel mentah," katanya.

Baca juga: Larangan Ekspor Bijih Nikel dan Nasib Suram Industri Baja Eropa

Outlook Report Wood Mackenzie edisi 21 Desember 2016 menyebutkan bahwa dari sudut pandang kapasitas produksi smelter, posisi Indonesia akan meningkat dari peringkat keempat di dunia pada 2015, menjadi peringkat ketiga pada tahun 2016. Jika melihat laju pembangunan smelter seperti saat ini, Indonesia diperkirakan mencapai tingkat pertama di dunia pada tahun 2019.

"Untuk itu, Presiden Jokowi tak boleh melunak lagi dengan cara membuka keran ekspor (relaksasi mineral) hanya karena ada tekanan dari Uni Eropa. Indonesia memiliki pengalaman buruk dengan industri nikel, lingkungan dirusak dan deforestasi tak terhindar," katanya.

Selain itu, di sektor mineral, Indonesia dikenal sebagai negeri pengekspor terbesar di dunia. Tahun 2012 misalnya, ekspor nikel dari pemegang Ijin Usaha Pertambangan (IUP) sebesar 41 juta ton naik hampir 2.000 persen dibandingkan tahun 2009 yang hanya mencapai 91.000 ton. Ini harus dikontrol ketat.

“Sepanjang tahun 2013 ke 2014, saya menyaksikan sendiri berton-ton bijih mentah diangkut tanpa pengawasan ke belasan kapal berbendera asing yang bertaburan tidak jauh dari pelabuhan yang saat itu bertebaran di berbagai titik di Sulawesi bagian tengah dan tenggara. Saya melihat sendiri kalau pengiriman tanah tersebut dilakukan siang-malam tanpa henti, dan sama sekali tidak memperhatikan good mining practices," ujarnya.

Pelarangan ekspor mineral, nikel, tembaga, bauksit dan batubara sebenarnya sudah dimulai sejak 14 Januari 2014 silam. Namun, pemerintah melunak karena banyak perusahaan tambang merugi dan mengancam merumahkan karyawan.

Selain itu, ada ketakutan dari pemerintah yang dilatarbelakangi defisit neraca perdagangan meningkat. Padahal, itu hanya ancaman jangka pendek saja.

Jika sejak tahun 2014 pemerintah konsisten menerapkan kebijakan pembangunan smelter, penerimaan negara pasti akan meningkat drastis dan industri nikel mengalami perbaikan berarti. Sampai sekarang baru 30 persen perusahaan yang sudah membangun smelter.

Baca juga: Larangan Ekspor Bijih Nikel Dipercepat, Hipmi: Ngapain Kita Ngirim ke China?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

IHSG Turun 34 Poin, Rupiah Melemah di Awal Sesi

IHSG Turun 34 Poin, Rupiah Melemah di Awal Sesi

Whats New
Harga Emas Dunia Menguat Usai Rilis Data Pertumbuhan Ekonomi AS

Harga Emas Dunia Menguat Usai Rilis Data Pertumbuhan Ekonomi AS

Whats New
Simak Rincian Kurs Rupiah Hari Ini di BCA hingga BNI

Simak Rincian Kurs Rupiah Hari Ini di BCA hingga BNI

Whats New
Daftar 30 Mitra Distribusi Pembelian Sukuk Tabungan ST012 dan Linknya

Daftar 30 Mitra Distribusi Pembelian Sukuk Tabungan ST012 dan Linknya

Whats New
Lowongan Kerja PT Honda Prospect Motor untuk S1, Ini Persyaratannya

Lowongan Kerja PT Honda Prospect Motor untuk S1, Ini Persyaratannya

Whats New
Sudah Bisa Dibeli, Ini Besaran Kupon Sukuk Tabungan ST012

Sudah Bisa Dibeli, Ini Besaran Kupon Sukuk Tabungan ST012

Whats New
Revisi Target Penyaluran Kredit, BTN Antisipasi Era Suku Bunga Tinggi

Revisi Target Penyaluran Kredit, BTN Antisipasi Era Suku Bunga Tinggi

Whats New
Mampukah IHSG Bangkit Hari Ini ? Simak Analisis dan Rekomendasi Sahamnya

Mampukah IHSG Bangkit Hari Ini ? Simak Analisis dan Rekomendasi Sahamnya

Whats New
Kekhawatiran Inflasi Mencuat, Wall Street Berakhir di Zona Merah

Kekhawatiran Inflasi Mencuat, Wall Street Berakhir di Zona Merah

Whats New
Ada Hujan Lebat, Kecepatan Whoosh Turun hingga 40 Km Per Jam, Perjalanan Terlambat

Ada Hujan Lebat, Kecepatan Whoosh Turun hingga 40 Km Per Jam, Perjalanan Terlambat

Whats New
BTN Buka Kemungkinan Lebarkan Bisnis ke Timor Leste

BTN Buka Kemungkinan Lebarkan Bisnis ke Timor Leste

Whats New
[POPULER MONEY] Respons Bulog soal Program Makan Siang Gratis Butuh 6,7 Ton Beras Per Tahun | Iuran Pariwisata Bisa Bikin Tiket Pesawat Makin Mahal

[POPULER MONEY] Respons Bulog soal Program Makan Siang Gratis Butuh 6,7 Ton Beras Per Tahun | Iuran Pariwisata Bisa Bikin Tiket Pesawat Makin Mahal

Whats New
KCIC Minta Maaf Jadwal Whoosh Terlambat gara-gara Hujan Lebat

KCIC Minta Maaf Jadwal Whoosh Terlambat gara-gara Hujan Lebat

Whats New
Cara Pinjam Uang di Rp 5 Juta di Pegadaian, Bunga, dan Syaratnya

Cara Pinjam Uang di Rp 5 Juta di Pegadaian, Bunga, dan Syaratnya

Earn Smart
Kemenkeu Akui Pelemahan Rupiah dan Kenaikan Imbal Hasil Berdampak ke Beban Utang Pemerintah

Kemenkeu Akui Pelemahan Rupiah dan Kenaikan Imbal Hasil Berdampak ke Beban Utang Pemerintah

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com