Sebenarnya kita membutuhkan koperasi multi pihak bukan hanya untuk BUMDes, melainkan berbagai sektor lain yang tak bisa dijembatani model konvensional.
Dalam koperasi multi pihak isu krusialnya adalah tata kelola dan pengambilan keputusan. Bila koperasi konvensional, keputusan diambil secara demokratis melalui mekanisme one man one vote. Artinya dalam voting, siapa yang banyak, itulah yang menentukan keputusan. Dalam koperasi multi pihak, hal itu tidak berlaku.
Tata kelola dan pengambilan keputusan koperasi multi pihak diatur secara proporsional, bukan berdasar jumlah basis anggotanya, melainkan basis kelompoknya. Misalnya pada iCOOP yang terdiri dari dua kelompok anggota, konsumen dan produsen, maka masing-masing pihak memiliki separoh kekuasaan sebarapa pun banyak anggota individualnya.
Di tahun 2015 jumlah anggota konsumen iCOOP sebanyak 237 ribu orang dan jumlah anggota produsennya sebanyak 2367 orang. Dalam koperasi konvensional, pastilah yang 237 ribu orang itu selalu menang dalam mengambil keputusan. Namun dalam koperasi multi pihak, kedua kelompok memiliki suara yang sama.
Mari kita bayangkan model koperasi multi pihak untuk BUMDes. Pertama kita perlu mengidentifikasi para pihak yang terlibat: Pemerintah Desa, Masyarakat dan Kelompok lainnya.
Bila ada tiga pihak, maka dalam tata kelolanya harus diwakili tiga pihak itu. Dalam pengambilan keputusan jumlah modal dan individu tidak dipertimbangkan. Misalnya Pemerintah Desa sebagai anchor institution keberadaan BUMDes memiliki jumlah suara lebih besar daripada pihak lainnya, minimal 50 persen.
Hal itu dibuat sebagai cara untuk menjaga (safeguard) orientasi dan tujuan BUMDes, memberi manfaat dan layanan sebesar-besarnya bagi masyarakat desa. Pihak kedua, masyarakat sebagai konsumen/produsen bisa memiliki 20-30 persen suara. Lalu pihak ketiga, yakni kelompok pendukung (supporter group), bisa berupa kelompok investor atau lembaga sosial lain, memiliki suara 10-20 persen.
Dengan memberikan hak voting pada dua kelompok itu, tata kelola BUMDes menjadi lebih terkendali. BUMDes menjadi lebih efektif karena masing-masing pihak secara alamiah menghendaki nilai terbaik bagi kepentingannya. Juga makin transparan karena masing-masing pihak membutuhkan informasi yang cukup agar dapat mengendalikannya. Efek lanjutannya, penyalahgunaan wewenang oleh elit (elite captured) dapat dihindari.
Ada kisah bagus di mana salah seorang usahawan besar di Indonesia membuka pihak lain ikut dalam perusahaan keluarganya. Ketika ditanya apa tujuannya? Modal? Bukan.
Ternyata tujuannya untuk membuat tata kelola perusahaannya lebih baik (good governance). Sebab dengan mengajak investor masuk di dalamnya, secara alamiah mereka akan ikut mengawasi tata kelolanya. Yang itu akan sulit dicapai pada perusahaan berbasis keluarga.
Itulah nature dari tata kerja sebuah bisnis. Masing-masing pihak terdorong mengawasi karena untuk mengamankan kepentingannya.
Dalam model koperasi multi pihak BUMDes seperti di atas, secara hipotetis good governance secara alamiah dapat tercapai.
Manfaat lainnya, seperti Prof. Hans Munkner bilang, koperasi multi pihak bertujuan untuk mengonsolidasi sumberdaya lokal bagi pembangunan ekonomi masyarakat. Anggota masyarakat seberapa kecil pun memiliki modal finansial.
Dengan instrumen yang tepat dan mudah, konsolidasi modal anggota masyarakat dapat menjadi leveraging factor bagi pengembangan bisnis-bisnis BUMDes secara akseleratif. Bila masih kurang, investor lokal (BUMDes/desa lain) dapat diajak serta berinvestasi.
Perimbangan kekuasaan/suara sebagaimana di atas cukup diatur oleh Anggaran Dasar. Pada proses itulah demokrasi deliberatif (mufakat) digunakan untuk membangun aturan main bersama antar para pihak. Sedangkan demokrasi voting digunakan dalam membuat kebijakan-keputusan turunan berikutnya.