Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pak Edhy, Petani Garam Sedang Sekarat dan Butuh Bantuan

Kompas.com - 06/01/2020, 10:48 WIB
Muhammad Idris,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

Pemerintah pun mengembangkan teknologi geomembran untuk bisa meningkatkan kapasitas produksi garam nasional. Kata dia, dari 7.000 lahan yang sudah disiapkan kementerian, sudah menghasilkan produksi signifikan.

Satu hektar lahan menghasilkan hampir 30 persen poduksi lebih banyak dan kualitas garamnya lebih putih.

"Terus terang kalau dari kebutuhan nasional kemampuan kita untuk melakukan produksi garam masih ya bisa dibilang setengahnya. Nah ini yang harus kita dorong. Ini kami cari cara untuk jalan keluarnya bagaimana para petambak garam penghasilannya baik," jelas Edhy.

Infrastruktur buruk

Edhy juga pernah mendapat keluhan mahalnya ongkos logistik di sektor kelautan dan perikanan. Mahalnya ongkos logistik tersebut membuat para pelaku usaha rugi.

Misalnya saja ongkos logistik pengangkutan garam. Edhy mengungkap, ongkos logistik mengangkut garam lebih mahal 5 kali lipat ketimbang harga garam itu sendiri.

"Penambak garam ongkos angkutnya Rp 1.200 per kilo (gram). Harga garamnya Rp 200 per kilo. Kalau angkat sekarung, ongkosnya bisa Rp 12.000," kata Edhy di Jakarta, Rabu (4/12/2019).

Baca juga: Menteri KKP: Ongkos Angkut Garam 5 Kali Lebih Mahal dari Harga Garam

Untuk meminimalisir hal itu, Edhy akhirnya menggandeng Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk membangun infrastruktur di sekitar penambak garam.

"Bangun infrastruktur tidak hanya di jalan besar tapi sampai wilayah terkecil. Sehingga tidak ada ada lagi penambak garam yang ongkos angkutnya 5 kali dari yang dia terima," tutur Edhy.

Setidaknya, Edhy bilang, infrastruktur yang dibangun mampu mengecilkan ongkos angkut. Artinya tidak perlu infrastruktur yang terlalu besar dan memakan banyak biaya.

"Tidak harus jalan besar, tidak harus aspal yang tebalnya bermili-mili dan berinci-inci. Tapi setidaknya aspal itu bisa dilalui kendaraan pick up," ucap Edhy.

(Sumber: KOMPAS.com/Mutia Fauzia | Editor: Yoga Sukmana)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com