Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
INDEKS
Masyarakat Ekonomi Syariah

Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) berbagi inspirasi, informasi dan pengetahuan untuk mendorong peningkatan literasi dan inklusi ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia.

Covid-19, Pembuktian Kedua Industri Syariah?

Kompas.com - 01/04/2020, 21:06 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Wahyu Jatmiko

In the midst of every crisis, lies great opportunity.

KUTIPAN siasat perang seorang jenderal militer China Sun Tzu dalam risalahnya The Art of War itu cocok menggambarkan strategi ekonomi Syariah di periode krisis keuangan global 2008.

Kala itu, bank syariah sebagai wajah utama ekonomi syariah cukup sukses memosisikan diri sebagai institusi keuangan yang lebih resilient (tahan krisis) dibanding bank konvensional.

Hasilnya, perkembangan bank syariah semakin pesat. Bukan hanya di negara dengan populasi Muslim mayoritas, namun juga minoritas seperti Inggris Raya, Amerika Serikat, Australia, Siprus, Thailand, dan Afrika Selatan.

Total aset bank Ssyariah secara global pun meroket dari 947 miliar dollar AS (Rp 15.000 triliun) di 2008, menjadi 1,76 triliun dollar AS (Rp 28.000 triliun) pada 2018.

Satu dekade lebih berselang, krisis kembali terjadi. Pandemi Covid-19 mewabah di hampir seluruh penjuru dunia. Kali ini dapatkah ekonomi Syariah mempraktikkan kembali strategi Sun Tzu?

Dampak Covid-19 pada industri syariah

Berbeda dengan krisis keuangan global 2008, pandemi Covid-19 menyerang sistem kesehatan publik. Sudah barang pasti implikasinya multi dimensi.

Pada sektor riil, penawaran tenaga kerja terganggu karena banyaknya penduduk yang sakit. Suplai barang dan jasa pun kacau.

Cepatnya transmisi human-to-human Covid-19 memaksa negara melakukan hal-hal yang tidak terpikirkan di masa damai.

Bisnis-bisnis non-esensial, sekolah dan perkuliahan, dan sistem transportasi dihentikan. Hingga karantina wilayah (lockdown) juga menjadi opsi yang selalu ada di atas meja.

Sistem keuangan pun otomatis terusik. Banyak bisnis tidak beroperasi meningkatkan gagal bayar pembiayaan bank. Investor pasar modal terbang ke aset yang lebih aman (flight to safety). Entah emas atau surat berharga Amerika Serikat. Nilai tukar sekarat dan cadangan devisa terkuras.

Efeknya bisa lebih katastropik dari krisis sebelumnya. Tak berlebihan bila editor The Sunday Telegraph Allister Heath menyebut krisis ini economic Armageddon.

Lantas bagaimana dampaknya pada industri syariah?

Pertama, perlu dipahami bahwa krisis Covid-19 dapat menghantam setiap negara dengan kadar yang sama.

Pada krisis keuangan global, negara pusat keuangan Syariah seperti Malaysia dan negara-negara Timur Tengah tidak memiliki konektivitas produk keuangan yang tinggi dengan Amerika Serikat. Jadi efek krisisnya lebih rendah.

Namun kali ini, efek negatif ke perekonomian negara-negara episentrum industri keuangan Syariah bisa jadi lebih tinggi. Karena sistem kesehatan publik mereka yang relatif lemah.

Dari 57 negara Organisasi Konferensi Islam (OIC) hanya Oman (8) yang berada di 25 besar sistem kesehatan publik terbaik WHO.

Indonesia sendiri berada di peringkat 92, di antara Lebanon (91) dan Iran (93). Dengan asumsi tingkat keparahan wabah yang sama, beban mayoritas negara OIC untuk mengatasi wabah Covid-19 lebih berat.

Ruang fiskal dan moneter untuk intervensi stimulus ekonomi pun terbatas. Berbeda dengan Amerika Serikat, misalnya, yang telah menjanjikan stimulus ekonomi "awal" sebesar 850 miliar dollar AS (Rp 13.500 triliun) atau Jerman dengan 500 miliar euro (Rp 8.500 triliun) atau Inggris Raya dengan 350 miliar poundsterling (Rp 6.400 triliun). Konsekuensinya, proses recovery industri syariah mungkin akan lebih lambat.

Kedua, pariwisata halal adalah primadona baru industri Syariah di tengah kebutuhan negara-negara produsen minyak mendiversifikasi ekonomi mereka.

Indonesia juga salah satu yang gencar mempromosikan pariwisata halal. Sayangnya, industri ini lah yang paling terkena imbas pandemi Covid-19.

Di buku Economics in the Time of COVID-19 Kepala Ekonom Citibank Catherine L. Mann mengatakan bahwa bentuk shock and recovery industri pariwisata adalah L shape. Artinya, pemulihan industri sangat sulit dan butuh waktu yang panjang untuk kembali ke posisi semula.

Maskapai Inggris Flybe menjadi contohnya. Perusahaan penerbangan regional terbesar di Eropa pailit karena sepinya permintaan di masa krisis memperparah kondisi keuangan perusahaan yang sebelumnya sudah berdarah-darah. Tanpa intervensi pemerintah, maskapai-maskapai lain tidak mustahil bernasib sama.

Ketiga, perbankan Syariah tidak memiliki keunggulan komparatif seperti pada krisis 2008. Salah satu alasan bank Syariah "selamat" pada krisis sebelumnya adalah karena paparan terhadap aktifitas derivatif bank konvensional yang rendah.

Namun, Covid-19 memengaruhi seluruh lini produk perbankan dari pembiayaan standar konsumsi hingga perdagangan derivatif.

Secara global bahkan perbankan syariah saat ini berada dalam posisi kurang menguntungkan. Perang harga minyak antara Arab Saudi dan Rusia membuat "surplus" yang ditempatkan di perbankan syariah semakin kecil.

Telah menjadi rahasia umum bahwa petrodollar adalah bagian tak terpisahakan dari kelahiran perbankan Syariah.

Menangkap peluang di tengah krisis

Lantas masihkan ada celah untuk industri Ssyariah bersinar di krisis Covid-19 ini?

Tentu masih ada. Dengan syarat industri Syariah beranjak dari sekadar berlabel "halal" kepada pemenuhan sistem nilai Islam yang melandasinya.

Karakter industri Syariah yang sesungguhnya dibangung di atas empat pilar, yakni pemenuhan hukum Tuhan (legal), kebutuhan diri (self-interest), kesejahteraan sosial (social-interest), dan kesinambungan lingkungan (ecological-interest).

Sayangnya, pembangunan industri "halal" seringkali hanya berfokus pada pilar pertama dan melupakan kesetimbangan tiga pilar yang lain.

Masa krisis adalah waktu yang paling tepat untuk memunculkan karakter di atas. Karena di momen ini lah manusia menunjukan sifat aslinya.

Sebuah realita di Inggris Raya dapat menjadi contoh sederhana. Hand sanitizer dan masker adalah dua produk yang sangat langka di masa pandemi Covid-19, sebagaimana juga terjadi di negara lain.

Suatu waktu di kota tempat saya tinggal, Durham, saya menelusuri beberapa supermarket untuk mencari produk tersebut. Durham terkenal dengan sebutan kota pensiunan. Selain mahasiswa sebagian besar penduduknya telah berusia lanjut.

Beberapa kali saya menyaksikan kesedihan dan kekecewaan para penduduk senior karena tidak mendapatkan barang yang mereka cari. Padahal untuk berjalan saja mereka kepayahan. Mereka pun masuk kategori yang paling rentan dalam wabah Covid-19.

Masyarakat Inggris Raya dengan histori panjang peradabannya yang glamor pun tak sanggup menahan panic buying. Demi memproteksi diri sendiri dari serangan wabah Covid-19.

Lebih parah lagi, banyak pemilik modal yang melakukan price gouging. Meningkatkan harga barang yang sangat dibutuhkan di waktu bencana atau krisis.

Hand sanitizer yang biasa dibanderol tidak lebih dari 1 poundsterling (Rp 18.000), kini ini meroket 3.000 persen menjadi 30 poundsterling (Rp 540.000).

Sementara di bagian Inggris Raya yang lain, sebuah toko kelontong di Scotland membagikan paket berisi hand sanitizer, hand wash, dan masker kepada para pensiunan di komunitas sekitar secara gratis.

Asiyah and Jawad Javed mengorbankan uang 2.000 poundsterling (Rp 36 juta) yang seyogianya akan mereka gunakan untuk liburan di musim panas (self-interest) untuk komunitas mereka (social and ecological-interest).

Walaupun pandemi Covid-19 lebih sistemik dan multi dimensi dibandingkan krisis keuangan 2008, industri syariah masih berpeluang mengaplikasikan petuah Jenderal Sun Tzu.

Musibah ini dapat menjadi momentum pembuktian kedua, bahwa ekonomi syariah dapat menghadirkan keadilan dalam berekonomi melalui keseimbangan antara legal, self-interest, social-interest, dan ecological-interest.

Momen ini tepat untuk menunjukan empat karakter yang membedakan ekonomi Syariah dengan selainnya tersebut. Sebagaimana Denis Leary katakan, "crisis doesn't create character; it reveals it."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com