Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
BRIN
Badan Riset dan Inovasi Nasional

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) adalah lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. BRIN memiliki tugas menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi.

Berbagai Kontradiksi di Balik RUU Cipta Kerja

Kompas.com - 16/09/2020, 19:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Artinya, kenaikan upah di Indonesia adalah suatu keniscayaan karena industri dalam negeri sudah masuk ke dalam fase industri terbatas. Sayangnya, argumen yang dibangun dalam RUU Cipta Karya masih saja menganggap kenaikan upah sebagai biang kerok melambatnya perluasan kesempatan kerja. Sebaliknya, upah yang stagnan dianggap sebagai instrumen penciptaan lapangan kerja yang lebih luas dan beragam.

Ketiga, secara konseptual, argumen upah murah rasanya sudah kurang pas dengan kebutuhan saat ini karena hipotesis subsitusi sempurna (perfect substitution hypothesis) antara modal dan tenaga kerja sebagaimana yang dibangun dalam model upah rendah sejatinya tidak begitu kuat.

Sebaliknya, argumen Keynes yang melihat perlunya kenaikan upah guna mendongkrak permintaan efektif dan lapangan kerja rasanya lebih relevan. Di lapangan, informalisasi pasar tenaga kerja cenderung menyebabkan nilai tenaga kerja menjadi lebih rendah daripada nilai sesungguhnya. Kondisi ini pada gilirannya membentuk permintaan yang tidak efektif.

Ujungnya, ekspektasi pebisnis ikut menurun dan menyebabkan penurunan permintaan tenaga kerja.

Keempat, RUU Cipta Kerja melihat kenaikan upah secara layak sebagai penghambat pertumbuhan lapangan kerja. Padahal, data BPS menunjukkan, rasio pengeluaran tenaga kerja terhadap keuntungan bersih industri besar dan sedang dalam 5 tahun terakhir masih di angka 11 persen.

Artinya, argumen yang menyebutkan bahwa kenaikan upah buruh menjadi penyebab melambatnya pertumbuhan lapangan kerja menjadi kurang relevan. Dalam konteks ini, melambatnya pertumbuhan lapangan kerja bisa saja karena faktor lain seperti masifnya realokasi keuntungan bersih yang dinikmati pemilik modal ke sektor keuangan.

Global Wealth Report yang dirilis Credit Suisse (2019) mengkonfirmasi tren tersebut.

Data Credit Suisse (2019) menunjukkan, porsi kepemilikan aset keuangan di Indonesia dalam 15 tahun terakhir meningkat cukup tajam, dari hanya 28,7 persen pada 2005 menjadi 42,3 persen pada 2019.

Di luar itu, jika dihubungkan dengan rantai pasok global (global value chains), maka argumen yang dibangun dalam RUU Cipta Karya tampaknya juga ditujukan untuk mengompensasi turunnya nilai markup produsen yang berpartisipasi dalam rantai pasok global.

Seperti diketahui, markup adalah rasio antara harga dengan biaya marjinal atau representasi keuntungan yang dinikmati penjual untuk setiap unit produk yang dijualnya. Sehubungan dengan hal itu, laporan Bank Dunia (2020) menyebutkan, pada periode 1980-2016 nilai markup secara global rata-rata naik sebesar 46 persen.

Namun peningkatan tersebut lebih banyak dinikmati oleh perusahaan-perusahaan Eropa dan Amerika Utara. Ironisnya, peningkatan partisipasi dalam rantai pasok global berarti peningkatan markup di negara maju dan sebaliknya penurunan markup di negara-negara berkembang.

Di sisi yang lain, produsen di negara-negara berkembang seperti Indonesia yang ikut berpartisipasi dalam rantai pasok global umumnya mengandalkan biaya tenaga kerja yang rendah. Namun, langkah ini tampaknya sulit dipertahankan karena kemajuan teknologi digital telah memaksa produsen yang berpartisipasi dalam rantai pasok global untuk berinvestasi lebih tinggi dalam modal daripada tenaga kerja.

Untuk menyiasatinya, upah pekerja berketerampilan rendah perlu ditekan guna mengkompensasi kenaikan upah pekerja berketerampilan tinggi supaya nilai markup tidak menurun terlalu tajam.

Singkat kata, argumen yang dibangun dalam RUU Cipta Kerja memang mengandung sejumlah kontradiksi sehingga perlu dibaca ulang. Apalagi, pengalaman di masa lalu mengajarkan bahwa informalisasi pasar tenaga kerja selain tidak inklusif juga tidak akan berkelanjutan.

Oleh karenanya, jika daya saing industri kembali dibangun di atas informalisasi pasar tenaga kerja, maka Indonesia rasanya sulit untuk keluar dari jebakan pertumbuhan ekonomi 5 persen.

*Pihri Buhaerah Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi  LIPI

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com