Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dian Gemiano
CMO KG Media

Chief Marketing Officer KG Media | Chairman Indonesian Digital Association

Biasa disapa Gemi, seorang Marketing Strategy Enthusiast dengan pengalaman lebih dari 17 tahun di dunia advertising, branding, dan marketing. Pernah bekerja di agency periklanan sebagai Strategy & Innovation Director, pernah juga bekerja di perusahaan financial sebagai Head of Digital Marketing sebelum akhirnya berlabuh di KG Media. Menyukai kreativitas, sejarah, filosofi, behavioral psychology dan arloji-arloji tua. Sering juga diberi tugas memasak sarapan oleh istri dan anak tercinta.

Membayangkan Masa Depan Media Digital Indonesia...

Kompas.com - 24/03/2021, 17:56 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Dian Gemiano*

BEBERAPA waktu lalu, saya berkesempatan diwawancara oleh sebuah majalah marketing Indonesia untuk membahas usaha-usaha yang dilakukan Kompas.com dalam area marketing, branding, dan product development.

Dalam wawancara itu saya dan sang jurnalis mendiskusikan isu-isu industri media digital di Indonesia.

Lalu muncul satu pertanyaan yang sebenarnya sudah sering saya diskusikan dengan kawan-kawan pelaku industri media Indonesia. Namun kali ini pertanyaan yang sama itu membuat saya berkontemplasi lebih lama.

Baca juga: VIK Virion Kompas.com Raih Perak di AAAS Kavli Science Journalism Awards 2020

Pertanyaan sang jurnalis adalah, “Bagaimana masa depan media digital di Indonesia?”

Mungkin saya jadi banyak pertimbangan utuk menjawab karena yang bertanya adalah seorang jurnalis yang memiliki pengaruh besar terhadap opini publik. 

Atau, mungkin juga karena dalam dua tahun terakhir ini lebih banyak fakta terkuak bahwa terdapat elemen-elemen kontradiktif antara pertumbuhan industri media digital yang sangat optimistis secara makro atau agregat dibanding dengan tantangan bisnis media digital secara mikro.

Dari sudut pandang makro, proyeksi pertumbuhan media digital dapat dilihat dari data pertumbuhan periklanan digital di Indonesia karena lebih dari 80 persen kontribusi revenue media digital dihasilkan dari model bisnis periklanan.

Menurut data E-Marketer di tahun 2020, total belanja iklan digital di Indonesia adalah sebesar 658,5 juta dollar AS atau sekitar Rp 9,5 triliun dengan proyeksi pertumbuhan dalam 5 tahun ke depan berada di angka rerata 12,2 persen setiap tahunnya.

Pertumbuhan tersebut didapat dari beberapa format iklan digital utama yaitu display ad, search ad, dan classified ad.

Baca juga: Hari Pers Nasional, Media Massa Diminta Tak Abaikan Data hingga Perkuat Kerja Sama

Jika dilihat dari angka agregat tersebut, maka kita bisa lihat betapa cerahnya masa depan media digital di Indonesia dengan asumsi bahwa pertumbuhan periklanan digital tadi akan bisa dinikmati oleh perusahaan-perusahaan media digital kita.

Namun untuk memvalidasi proyeksi pertumbuhan itu, kita perlu lihat lebih detail di level operasional perusahaan media digitalnya itu sendiri agar bisa lebih yakin bahwa sumber daya yang dimiliki perusahaan media digital mampu menyerap potensi bisnis yang ada di masa depan.

Berikut ini adalah realitas-realitas penting dalam operasional media digital yang berkaitan dengan periklanan digital:

Realitas Pertama: Programmatic Advertising

Jejak awal periklanan programmatic bisa kita telusuri sejak tahun 2000 ketika Google meluncurkan platform Iklan Adwords – sebuah platform iklan baris berbasis pencarian kata kunci di mesin pencari Google.

Tahun 2013 perusahaan yang sama memperkenalkan AdSense atau biasa juga disebut Google Display Network (GDN) – sebuah platform iklan digital berbasis banner atau display yang diletakkan di seluruh website di seluruh dunia dalam jaringan Google.

Keberadaan AdSense mengubah paradigma iklan digital saat itu. Sebelumnya, iklan display dibeli langsung dari pemilik websites. Transaksi antara pengiklan dan media terjadi sangat linear berubah menjadi lebih kompleks.

Maksudnya, pemasangan iklan dari satu pengiklan dapat dilakukan terhadap banyak media atau halaman website dalam satu transaksi.

Pendekatan jejaring ini memungkinkan pengiklan menyasar target audience berdasarkan demografi, kata kunci di search engine dan behavioral sederhana bukan lagi berdasarkan medianya itu sendiri.

Baca juga: Media, Budaya, dan Pemujaan Selebritas

Namun istilah programmatic baru dilekatkan pada platform periklanan berbasis jejaring ini ketika Yahoo meluncurkan platform Real Time Bidding (RTB) pertama di tahun 2007 lewat anak perusahaan mereka yang bernama Right Media.

Setelah Yahoo, perusahaan-perusahaan digital lain pun ikut mengembangkan platform RTB masing-masing termasuk Google AdeX, Microsoft AdECN, AdMeld, Pubmatic, Rubicon Project dan OpenX.

Platform RTB memungkinkan para pemasang iklan yang terkoneksi dalam platform Demand Side Platform (DSP) untuk melakukan pembelian inventory iklan dalam sistem lelang real-time dari media atau website yang terkoneksi dengan platform Supply Side Platform (SSP).

Premis dari sistem ini adalah bahwa para pengiklan bisa melakukan kampanye dengan lebih efisien dengan target audience yang lebih akurat, dalam skala yang sangat besar dan yang lebih penting adalah eksekusi kampanye bisa dioptimisasi untuk mendapatkan performa yang lebih baik.

Sederhananya (atau mungkin tidak jadi sederhana), periklanan programmatic dengan RTB ini mempunyai kemiripan mekanisme dengan sistem pasar modal ketika pengiklan berperan sebagai investor dan media berperan sebagai penjual produk investasi.

Artinya, dalam ekosistem ini harga inventori media ditentukan oleh supply & demand (mekanime pasar).

Dari sudut pandang perusahaan media, periklanan programmatic bisa dilihat sebagai alat growth hacking monetisasi digital karena tidak butuh sumber daya banyak untuk mendapatkan revenue dari sistem ini dan seringkali perusahaan media memosisikan programmatic layaknya “passive income”.

Namun, di sisi lain ada ancaman sustainability yang mengendap-ngendap karena perusahaan media kehilangan kontrol untuk menentukan harga jual produknya sendiri.

Ancaman ini semakin terlihat jelas ketika di tahun 2020 Pubmatic – sebuah perusahaan teknologi periklanan berskala global - mengumumkan bahwa belanja iklan programmatic di Indonesia sudah mencapai angka 500 juta dollar AS (Rp 7,2 triliun), yang artinya sudah mencapai 76 persen dari total belanja iklan digital Indonesia.

Rasio pertumbuhan periklanan programmatic pun cukup fantastis di angka 54 persen di tahun 2020. Makna lebih pahit dari angka -angka tersebut adalah bahwa sudah sebesar itulah perusahaan-perusahaan media digital di Indonesia kehilangan kontrol atas harga produk mereka sendiri.

Realitas Kedua: Harga Inventori Media dalam Ekosistem Periklanan Programmatic

Jika kita telisik lebih dalam data dalam ekosistem periklanan programmatic yang makin tumbuh merajalela tadi, kita akan melihat tantangan berlapis untuk perusahaan media Tanah Air.

Transaksi iklan dalam platform programmatic pada umumnya terjadi dalam satuan CPM (cost per mile), yaitu harga ditentukan atas terjadinya 1.000 impresi iklan atau dalam satuan CPC (cost per click), yaitu harga ditentukan atas terjadinya 1 klik iklan.

Di sisi perusahaan media pada umumnya menganalisis performa revenue iklan programmatic dalam basis CPM saja karena impresi iklan masih bisa dikontrol sedangkan klik iklan yang notabene diinisiasi audiens tidak bisa dikontrol.

Dikarenakan tidak semua impresi iklan yang dimiliki media bisa terjual maka perusahaan media menggunakan satuan metriks eCPM (effective cost per mile) yang merupakan rasio total revenue berbanding total impresi iklan yang tersedia.

Satuan eCPM inilah yang digunakan perusahaan media digital di seluruh dunia sebagai satuan harga inventori iklan.

Data eCPM agregat industri sayangnya tidak dapat diakses publik, namun kita bisa melihat data yang dimiliki group media digital terbesar di Indonesia KG Media sebagai referensi.

Menurut data, eCPM KG Media dalam 3 tahun terahir mengalami penurunan cukup signifikan antara 15 persen - 27 persen setiap tahunnya.

Angka penurunan tersebut jika dikalikan dengan pertumbuhan iklan programmatic tadi maka bisa dibayangkan betapa signifikannya penyusutan revenue yang akan dihadapi perusahaan media dalam tahun-tahun berikutnya jika perusahaan media digital tidak melakukan inisiatif-inisiatif strategis untuk mengantisipasi.

Realitas Ketiga: Tidak Ada Content Premium Dalam Ekosistem Programmatic

Saya ingat betul di tahun 2008 – 2010 ketika masih berprofesi sebagai media planner di sebuah agency periklanan, saya masih harus melakukan banyak negosiasi harga untuk menempatkan iklan di sebuah media dengan brand yang sudah dikenal memiliki kredibilitas baik.

Harga iklan di media-media tersebut masuk dalam kategori premium dengan harga yang lebih tinggi dibanding media atau inventori lain. Bahkan untuk beberapa media, saya harus berebut tempat dengan pemasang iklan lain yang rela membayar tinggi untuk inventori premium tersebut.

Situasi seperti itu nampaknya sudah berubah sejak hadirnya platform programmatic. Karena programmatic bersifat media agnostic dengan skala yang sangat besar, platform periklanan programmatic menyerahkan penentuan harga iklan pada mekanisme supply & demand tanpa mempedulikan kualitas brand media atau kualitas konten.

Secara natural pemasang iklan mungkin bersedia membayar lebih mahal atas performa inventori iklannya bukan pada konten di mana iklan tersebut melekat.

Hal ini tentunya kontradiktif dengan kenyataan operasional di perusahaan media di mana untuk memproduksi konten berkualitas tentunya memerlukan investasi yang lebih mahal dan ketika value yang diciptakan tidak berkorelasi dengan sumber revenue utamanya.

Maka bisa disimpulkan bahwa keberlangsungan konten-konten berkualitas sedang mengalami masalah yang cukup mendasar.

Dari tiga realitas di atas timbul pertanyaan: Apakah business model periklanan digital bisa menjadi sandaran keberlangsungan media digital dengan konten yang berkualitas?

Pertanyaan yang jauh lebih esensial datang dari media-media berita: Apakah business model periklanan bisa mendukung keberlangsungan jurnalisme?

Pertanyaan terakhir ini menjadi sangat penting untuk kita pikirkan bersama. Topik tentang keberlangsungan jurnalisme ini menjadi katalis yang meleburkan dinding api (firewall) antara bisnis media dan jurnalisme (sederhananya: urusan redaksional) yang selama ini dijaga ketat kesterilannya.

Bahkan katalisasi tersebut dapat menyebar ke ranah yang lebih lebar yaitu keberlangsungan demokrasi negara kita karena ketika jurnalisme runtuh maka eksistensi demokrasi juga akan terancam.

Kembali lagi ke pertanyaan awal dari tulisan ini: Bagaimana masa depan media digital di Indonesia?

Jawabannya sangat tergantung pada komitmen pemangku kepentingan industri media untuk mengambil kembali kontrol bisnis media yang saat ini terkikis dengan begitu cepat.

Saya selalu teringat pernyataan CEO Kompas Gramedia, Lilik Oetama, dalam salah satu pidatonya di tahun 2017: “Untuk menghasilkan jurnalisme yang independen, maka perusahaan media harus independen pula secara finansial”.

Perlu adanya usaha bersama dalam merancang strategi model bisnis yang lebih cocok untuk jurnalisme, karena keberlangsungan media tidak melulu tentang bisnis, namun juga tentang eksistensi demokrasi yang harus kita jaga bersama. (*Dian Gemiano, Chief Marketing Officer KG Media / Chairman Indonesian Digital Association)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com