Pada umumnya di Indonesia, orang tua adalah pengambil keputusan dalam pendanaan untuk kegiatan pendidikan anak-anaknya. Dengan demikian, target pasar segmen pendidikan dasar, menengah, dan atas yang sebenarnya adalah orang tua, bukan siswa secara langsung. Khususnya di daerah pedesaan di Indonesia, terdapat persepsi bahwa pendidikan digital tidak hanya mahal, tetapi juga tidak terbukti berkorelasi meningkatkan hasil belajar dibandingkan dengan pendidikan tradisional. Selain itu, meskipun pendidikan adalah wajib dan diberikan gratis di sekolah umum selama 12 tahun oleh pemerintah, penurunan yang signifikan dalam jumlah siswa antara sekolah dasar dan menengah menunjukkan bahwa banyak orang tua masih memandang pendidikan hanya sebagai alat untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Dengan demikian, kendala yang dihadapi perusahaan rintisan EduTech bukan hanya mendidik dan meyakinkan orang tua mengenai solusi yang ditawarkan, tetapi juga mengubah pola pikir secara keseluruhan tentang peran pendidikan.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) di atas, segmen pasar pendidikan terbesar di Indonesia, berdasarkan jumlah siswanya, sejauh ini adalah siswa sekolah dasar (SD). Namun, secara historis, segmen pasar dengan daya beli terbesar adalah orang tua siswa sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK). Hal ini dikarenakan adanya ujian nasional (UN) dan ujian seleksi (SNMPTN/SBMPTN/UTBK) yang dilakukan di tahun akhir sekolah.
Oleh karena itu, mayoritas EduTech juga menargetkan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, seperti SMA dan SMK. Sebab, rintangannya cenderung lebih rendah daripada segmen sekolah dasar dan menengah pertama, dan menciptakan lanskap yang sangat kompetitif. Lebih jauh, dikarenakan ujian akhir dianggap sebagai pemicu utama pengeluaran pendidikan karena tingginya transaksi kepada layanan pendidikan, khususnya kelas persiapan intensif.
2. Kurangnya literasi digital dan motivasi belajar pada pengajar
Sebagai gambaran, Survei Literasi Digital oleh Kemenkominfo pada 2020 di 34 provinsi, dengan melibatkan 1.670 responden, menunjukkan skor literasi digital Indonesia 3,47 dari total 5. Adapun aspek yang dinilai adalah informasi dan literasi data, komunikasi dan kolaborasi, keamanan, serta kemampuan adaptasi teknologi. Hal tersebut dapat menjadi salah satu latar belakang alasan rendahnya literasi digital di kalangan pengajar di Indonesia.
Namun, literasi digital dalam konteks pengajar bukan hanya kemampuan menggunakan komputer sebagai media pembelajaran, melainkan kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai format digital untuk melakukan perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi pembelajaran (Harjono, 2018). Kondisi ini otomatis menuntut pengajar untuk memiliki pemahaman akan pemanfaatan teknologi informasi dalam kegiatan belajar-mengajar.
Sebagai gambaran, Ramadhan dan Nasionalita (2020) dalam penelitiannya mengenai tingkat literasi digital pada guru SMP di Kota Bandung, menggunakan tiga dimensi pengukuran instant Digital Competence Assessment (DCA) yaitu Ethical, Cognitive, dan Technical untuk mengukur tingkat literasi digital pengajar.
Berdasarkan penelitian, pengajar memiliki skor yang rendah pada dimensi Technical, yaitu ditunjukkan dengan rendahnya tingkat pemahaman pengajar ketika dihadapkan dengan mengenali dan menyelesaikan masalah pada komputer. Hal ini dikarenakan 53,5 persen responden lebih memilih menggunakan ponsel pintar dalam mengajar.
Faktor lainnya juga ditunjukkan dengan kesenjangan pemahaman digital antara mayoritas pengajar yang berusia 31-40 tahun, dengan siswa SMP 15-19 tahun sebagai akibat dari tingkat pembelajaran mandiri (self learning) pengajar yang relatif lebih rendah dibandingkan siswanya.
Padahal, peran literasi digital pada pengajar sangatlah berpengaruh bagi siswa. Melansir dari penelitian Oktavia dan Hardinata (2021), yang menjelaskan bahwa rendahnya penggunaan teknologi informasi oleh tenaga pendidik dalam pembelajaran akan berakibat pada rendahnya tingkat literasi digital siswa. Terlebih, bagi siswa di luar pulau Jawa yang tidak memiliki akses merata akan teknologi. Sebagai konsekuensi, perusahaan startup EduTech harus memberikan pelatihan intensif mengenai aplikasi teknologi kepada pengajar agar berjalan baik dan terciptanya pendidikan inklusif.
3. Infrastruktur digital yang tidak merata
Sebagian besar EduTech disediakan secara daring, dan diakses melalui situs atau aplikasi ponsel pintar. Maka, tidak mengherankan jika Jakarta dan mayoritas daerah di Pulau Jawa memiliki tingkat penetrasi tertinggi perusahaan Edutech karena ketersediaan infrastruktur digital yang lebih kondusif.
Hambatan lainnya juga muncul akibat aksesibilitas yang buruk terhadap koneksi internet untuk pulau-pulau selain Pulau Jawa. Sulitnya akses internet untuk para pelajar yang berada di wilayah rural atau terdepan, tertinggal, terpencil (3T) tersebut mengakibatkan kesenjangan pada akses pendidikan berkualitas.
Dengan begitu, akuisisi pelanggan adalah salah satu masalah yang paling menantang bagi perusahaan EduTech, terutama melalui model B2C yang berpusat pada konsumen. Namun, melalui kemitraan B2B untuk sekolah maupun institusi juga akan memakan biaya yang cukup banyak karena siklus penjualan yang cukup panjang dan seringkali membutuhkan komunikasi langsung dengan pemimpin sekolah, sehingga perlu sumber daya manusia lebih banyak.
Katalis Pertumbuhan Sektor EduTech