Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

IMF Wanti-wanti RI soal Tapering The Fed, Efeknya Bisa Kurang Ramah

Kompas.com - 11/01/2022, 16:46 WIB
Fika Nurul Ulya,
Yoga Sukmana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) mengimbau negara-negara berkembang (emerging market) bersiap-siap menghadapi pengetatan kebijakan atau tapering off bank sentral AS, The Fed.

Sebab, kenaikan inflasi AS yang awalnya hanya diperkirakan sementara, ternyata konsisten melonjak. Bahkan lonjakannya menjadi yang tercepat sejak hampir 4 dekade terakhir. Kenaikan inflasi ini kemudian menjadi faktor kunci pengetatan kebijakan moneter The Fed.

Selain inflasi, Covid-19 varian Omicron telah menimbulkan kekhawatiran tambahan. Hal ini membuat prospek pasar negara berkembang menjadi turut tak pasti.

"The Fed Federal Reserve menyebut perkembangan inflasi sebagai faktor kunci dalam keputusannya bulan lalu untuk mempercepat pengurangan pembelian aset," tulis IMF dalam laporannya, Selasa (11/1/2022).

Baca juga: Inflasi Desember 2021 Capai Angka Tertinggi dalam 2 Tahun Terakhir

Adapun The Fed diproyeksi menurunkan suku bunga acuan sebanyak 4 kali pada tahun 2022. IMF memproyeksi, pertumbuhan ekonomi AS bakal makin kuat dengan tingkat inflasi yang moderat di akhir tahun 2022, dipengaruhi oleh gangguan pasokan yang mereda.

Kondisi ini menunjukkan The Fed akan memperketat kebijakannya secara bertahap sehingga tekanan efek rambatan (spill over) kepada negara berkembang tidak akan begitu signifikan.

Mata uang pasar negara berkembang diproyeksi masih terdepresiasi, tetapi permintaan asing akan mengimbangi dampak dari kenaikan biaya pembiayaan.

"Jika tingkat kebijakan naik dan inflasi moderat seperti yang diharapkan, sejarah menunjukkan bahwa efek untuk pasar negara berkembang kemungkinan besar tidak berbahaya jika pengetatan dilakukan secara bertahap, terkirim dengan baik, dan sebagai respons terhadap pemulihan yang menguat," sebut IMF.

Kendati begitu, efek rambatan ke negara berkembang bisa saja kurang ramah. Jika inflasi upah AS meluas dan macetnya pasokan berlanjut, tekanan harga akan lebih tinggi dari yang diekspektasi. Hal ini bisa memicu naiknya suku bunga kebijakan yang lebih cepat.

Akibatnya, pasar keuangan terguncang dan kondisi keuangan global semakin ketat. Perkembangan ini dapat menyebabkan arus keluar modal asing dan depresiasi mata uang dari pasar negara berkembang.

Baca juga: Sempat Berada di Zona Hijau, IHSG Justru Berakhir di Zona Merah

Skenario seperti itu bisa lebih parah bagi negara-negara berkembang yang rentan, utamanya negara dengan utang publik dan swasta yang tinggi, eksposur valuta asing, dan saldo transaksi berjalan yang rendah sehingga membuat pergerakan mata uang relatif lebih besar dibanding dollar AS.

Tercatat, utang publik di negara berkembang naik hampir 10 poin persentase sejak 2019, atau mencapai sekitar 64 persen dari PDB pada akhir 2021 dengan variasi berbeda di seluruh negara.

Saat ekonomi berbalik arah, kerentanan akan meningkat, diperparah dengan lebih lambatnya pertumbuhan ekonomi.

"Kombinasi dari pertumbuhan yang lebih lambat dan kerentanan yang meningkat dapat menciptakan putaran umpan balik yang merugikan bagi ekonomi seperti itu," tulis IMF.

Baca juga: IPO GoTo Dinilai Jadi Penentu Nasib Unicorn Lainnya

Untuk merespons tapering off bank sentral AS, IMF mengimbau seluruh negara berkembang menyesuaikan respons berdasarkan keadaan dan kerentanan masing-masing negara.

Negara yang memiliki kredibilitas kebijakan dalam menahan inflasi dapat memperketat kebijakan moneter secara lebih bertahap, sementara negara yang sudah mengalami inflasi tinggi harus bertindak cepat.

Dalam kedua kasus itu, negara berkembang harus merelakan mata uangnya terdepresiasi dan menaikkan suku bunga acuan. Jika pasar valuta asing dihadapkan pada kondisi tidak teratur, bank sentral dapat melakukan intervensi dengan cadangan devisanya.

Namun demikian, tindakan tersebut dapat menimbulkan pilihan yang sulit bagi pasar negara berkembang, antara mendukung ekonomi domestik yang lemah dengan menjaga harga dan stabilitas eksternal.

"Di sisi lain, memperluas dukungan untuk bisnis di luar langkah-langkah yang ada, dapat meningkatkan risiko kredit dan melemahkan kesehatan jangka panjang lembaga keuangan dengan menunda pengakuan kerugian," tandas IMF.

Baca juga: Harga Minyak Goreng Mahal, Produsen Tahu Tempe Menjerit

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com