Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jutaan Hektare Hutan RI Jadi Sawit, Kenapa Minyak Goreng Justru Mahal?

Kompas.com - Diperbarui 30/01/2022, 21:36 WIB
Muhammad Idris

Penulis

"Perilaku ini bisa dimaknai sebagai sinyal apakah ini terjadi kartel karena harga, tapi ini secara hukum harus dibuktikan," ujar Ukay lagi.

Kartel sendiri merujuk pada sekelompok produsen yang mendominasi pasar yang bekerja sama satu sama lain untuk meningkatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan menaikan harga, sehingga pada akhirnya konsumen yang dirugikan.

Menurut Ukay, dugaan kartel ini berkaitan dengan terintegrasinya produsen CPO yang juga memiliki pabrik minyak goreng. Dia menjelaskan, jika CPO-nya milik sendiri, harga minyak goreng tidak naik secara bersama-sama.

Baca juga: Pasar Minyak Goreng di RI Dikuasai 4 Perusahaan Besar

"Tadi sudah dijelaskan produsen CPO mana yang tidak memiliki pabrik minyak goreng, mereka kan awalnya produsen CPO. Masing-masing memiliki kebun kelapa sawit sendiri, supply ke pabrik minyak gorengnya," kata Ukay.

Selain itu Ukay juga mengatakan, pasar industri minyak goreng di Indonesia cenderung mengarah ke struktur yang oligopoli.

KPPU mencatat dalam data consentration ratio (CR) yang dihimpun pada 2019, ada empat industri besar tampak menguasai lebih dari 40 persen pangsa pasar minyak goreng di Indonesia.

Beberapa pemain besar industri minyak goreng yang juga memiliki perkebunan kelapa sawit antara lain Wilmar, Grup Salim, Grup Sinarmas, Musim Mas, hingga Royal Golden Eagle Internasional milik taipan Sukanto Tanoto.

Uang negara untuk subsidi

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan keputusan pemerintah untuk menggelontorkan dana triliunan rupiah ke perusahaan-perusahaan produsen minyak goreng dinilai sudah sangat tepat.

Baca juga: Kapan Minyak Goreng Rp 14.000 Per Liter Tersedia di Pasar Tradisional?

Sementara di sisi lain, pemerintak tidak menyubsidi minyak goreng tanpa kemasan alias minyak goreng curah. Padahal, minyak goreng kemasan selama ini dikuasai banyak perusahaan-perusahaan besar.

Berdasarkan data Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), pasar minyak goreng di Indonesia selama ini dikuasai oleh empat perusahaan besar.

Menurut Sri Mulyani, pemberian subsidi kepada minyak goreng kemasan dilandasi dari sisi akuntabilitas. Lantaran APBN tetap akan diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) setiap tahunnya.

"(Pemberian subsidi) ini kemudian akan menimbulkan persepsi, biasanya ada politisi yang mengatakan, oh kita (pemerintah) lebih berpihak kepada kelompok yang pabrikan. Padahal enggak," kata Sri Mulyani dalam keterangannya.

Pemerintah menilai, minyak goreng kemasan yang notabene diproduksi oleh pabrikan besar, lebih siap memberikan perhitungan dan laporan keuangan jika bekerja sama dengan pemerintah menyalurkan minyak goreng bersubsidi.

"Kalau minyak goreng curah instrumen APBN itu akan sulit banget masuk ke sananya, lebih mudah minyak goreng kemasan karena dia ada pabrikannya, karena itu dari sisi efektivitas dan akuntabilitasnya lebih mudah, lebih bisa dipertanggungjawabkan," kata Sri Mulyani.

Pasokan Tak Menentu, Stok 300 Pcs Tak Mampu Penuhi Kebutuhan Minyak Goreng PerhariKOMPAS.COM/JUNAEDI Pasokan Tak Menentu, Stok 300 Pcs Tak Mampu Penuhi Kebutuhan Minyak Goreng Perhari

Baca juga: YLKI Heran, Minyak Goreng Tidak Impor, tapi Dijual Pakai Harga Dunia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com