Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Konsumsi Minuman Berpemanis Kemasan Naik 15 Kali Lipat dalam 2 Dekade, Kapan Cukainya Diterapkan?

Kompas.com - 01/04/2022, 11:42 WIB
Fika Nurul Ulya,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Center for Indonesia Strategic Development Initiatives (CISDI) menilai penerapan tarif cukai pada Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) perlu dilakukan.

Sejauh ini, cukai pada MBDK belum terlaksana. Padahal, wacana ekstensifikasi Barang Kena Cukai (BKC) ini sudah bergulir sejak tahun 2008.

Bahkan pada tahun 2021, pemerintah berencana menerapkan BKC pada MBDK yang diperkuat oleh Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 104 Tahun 2021 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2022.

Baca juga: CISDI: Konsumsi Minuman Manis Kemasan RI Tertinggi Ketiga di ASEAN, Terutama Teh Kemasan

Dalam beleid tersebut, pemerintah mematok penerimaan negara dari cukai minuman berpemanis dalam kemasan sebesar Rp 1,5 triliun tahun 2022.

Sementara penerimaan cukai kantong plastik ditarget sebesar Rp 1,9 triliun.

"Berdasarkan penelitian yang kami lakukan, cukai MBDK perlu segera diterapkan di Indonesia mengingat dampak kesehatan, dampak sosial ekonomi, dan dari aspek legalitas maupun praktek baik yang telah ditunjukkan oleh beberapa negara," kata Peneliti CISDI, Gita Kusnadi dalam webinar, Kamis (31/3/2022).

Baca juga: Minuman Berpemanis Dikenakan Cukai, Penerimaan Negara Bisa Naik Jadi Rp 6,25 Triliun

Konsumsi minuman manis harus dibatasi

Gita menuturkan, minuman manis kemasan sudah memenuhi sifat dan karakteristik barang kena cukai, antara lain, konsumsinya yang harus dibatasi, dan konsumsi berdampak negatif pada masyarakat atau lingkungan hidup.

Asal tahu saja, tingginya konsumsi MBDK berisiko meningkatkan penyakit tidak menular (PTM) seperti obesitas, penyakit diabetes, hipertensi, kerusakan liver dan ginjal, penyakit jantung, bahkan beberapa jenis kanker.

Gita bilang, penyakit ini menyumbang kematian tertinggi. Hasil penelitian tahun 2019 menemukan, 7 dari 10 penyebab kematian tertinggi di Indonesia adalah PTM. Diabetes sendiri menempati peringkat ketiga dari PTM tersebut.

"Ditemukan juga bahwa setengah dari faktor risiko penyebab kematian tertinggi di Indonesia berkaitan dengan gaya hidup, salah satunya adalah kadar gula darah yang tinggi, yang erat kaitannya dengan konsumsi MBDK," beber Peneliti CISDI, Gita Kusnadi.

Baca juga: Waspadai Risiko Penyakit akibat Doyan Minuman Manis dan Rebahan

Dampak negatif MBDK

MBDK juga memenuhi kriteria keempat, yakni dampak negatif atau biaya tidak langsung yang harus ditanggung akibat konsumsi MDBK terutama pada kelompok ekonomi menengah ke bawah.

Tercatat pada periode 2017-2019, biaya layanan primer dan perujukan layanan diabetes meningkat hingga 29 persen dari Rp 84 triliun menjadi Rp 108 triliun.

Kemudian, data International Diabetes Federation (IDF) tahun 2022 menemukan, penduduk RI yang terkena diabetes mencapai 19,5 juta orang. Pada tahun 2045, angkanya berpotensi meningkat menjadi 28,6 juta orang.

"Melihat kontribusi konsumsi MBDK pada peningkatan beban kesakitan dan kematian sebab PTM, cukai MDBK perlu diterapkan segera di Indonesia," ucapnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com