Jika pulih, akankah kondisinya akan sama dengan sebelumnya? Artinya, dari sisi ongkos angkut atau freigth misalnya, kembali kepada harga sebelum perang?
Saya pesimis kondisinya akan kembali seperti sedia kala. Hampir tidak mungkin rasanya. Begini alasannya.
Pelayaran adalah salah satu sektor usaha yang terbilang unik. Apa-apa yang berlaku umum dalam sebuah sektor usaha yang lain, belum tentu bisa atau dapat diterapkan dalam sektor pelayaran.
Jujur, saya tidak tahu apa yang membuatnya seperti itu, namun begitulah adanya.
Ambil contoh, dalam aspek permodalan. Bisnis yang satu ini membutuhkan modal yang boleh dibilang fantastis (capital intensive) agar bisa berjalan.
Sayangnya, investasi yang mahal ini tidak bisa kembali atau break event-nya lumayan lama, sekitar 20 tahun per kapal.
Orang-orang barangkali akan bilang, “Kalau investasinya mahal, seharusnya pengusaha perkapalan memasang harga yang tinggi untuk layanan agar cepat balik modal. Gitu aja kok repot”.
Di sinilah uniknya bisnis perkapalan. Kendati modalnya besar, pengusaha tidak bisa mengenakan freight seenak udelnya.
Ada berbagai formula bagaimana menentukan nilai ongkos angkut tapi saya tidak akan masuk ke dalamnya. Saya bukan ahlinya.
Yang jelas, freight tidak bisa mahal disebabkan: bunga bank untuk pinjaman modal untuk pengusaha pelayaran relatif rendah, di bawah dua digit.
Sepertinya hanya di Indonesia yang interest rate-nya di atas dua digit. Itu pun masih ditambah macam-macam syarat tambahan.
Dengan freight yang rendah, sektor pelayaran jelas menjadi pilihan para pemilik barang (shipper) untuk mengapalkan kargo mereka yang berton-ton banyaknya.
Untuk catatan saja, sampai saat ini hanya kapal yang bisa mengangkut barang dalam jumlah yang masif dengan harga lumayan murah dibanding moda lainnya.
Sedikit tambahan, sekitar 90 persen perdagangan di dunia ini dilakukan dengan kapal.
Tak terbayangkan oleh saya porsi sebanyak ini diangkut dengan pesawat, kereta api, truk atau lainnya. Berapa duit, ya? Pastinya banyak.