Oleh: Aisyah Zakkiyah*
BERBAGAI pembatasan sosial yang terjadi selama dua tahun terakhir tidak hanya membuat masyarakat terbiasa dengan kegiatan belajar atau bekerja dari rumah, tapi juga menciptakan pola hidup yang bahkan tidak perlu keluar dari pintu kamar.
Salah satunya adalah kebiasaan berbelanja secara online.
Berdasarkan survei kolaborasi Katadata Insight Center (KIC) dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada 2021, hanya 6 persen menyatakan tidak pernah berbelanja online (responden dari 34 provinsi).
Pada semester pertama di tahun yang sama, hasil survei Jakpat menyatakan sebanyak 75 persen responden yang tersebar di seluruh Indonesia menyatakan preferensi berbelanja dengan menggunakan metode daring dengan pertimbangan menghindari risiko penyebaran virus Covid-19.
Setelah dua tahun, momentum hari raya dan mudik 2022 bisa dikatakan titik awal mulai bergeraknya aktivitas offline masyarakat secara lebih massal.
Bukan lagi dengan video call, silaturrahmi langsung dilakukan secara langsung bersama sanak saudara.
Beberapa saat menjelang hari raya pun terasa seperti tahun-tahun sebelum pandemi di mana masyarakat ramai berbelanja baju Lebaran dan kebutuhan makanan di pusat perbelanjaan, pasar dan supermarket.
Hal ini juga berpengaruh pada aktivitas marketing mulai dari produk retail seperti minuman dalam kemasan hingga produk busana.
Di Jakarta saja, selama Ramadhan dan menjelang Lebaran telah diadakan tiga perhelatan acara fashion secara offline, yaitu Indonesia Fashion Week, Muslim Fashion Festival, dan juga Ecoprint Fashion Week.
Dalam dunia otomotif, tahun ini pun Indonesia International Motor Show telah dilaksanakan secara offline.
Tentunya brand dan industri retail juga banyak yang telah semakin masif beriklan langsung pada pasar, toko atau supermarket.
Lalu apakah metode periklanan dan penjualan secara online akan sedikit demi sedikit tergerus?
Menariknya, pergeseran metode beriklan dari digital ke tradisional marketing telah terlihat di sejumlah perusahaan B2C di Amerika Serikat.
Mereka memprediksi adanya perubahan alokasi dana periklanan yang akan justru ditingkatkan untuk saluran pemasaran tradisional seperti TV, radio, OOH, aktivitas offline serta media cetak.