PANDEMI Covid-19 memicu penyesuaian rantai pasok global sehingga memberikan tekanan pada kenaikan harga pangan dunia. Konflik Rusia-Ukraina juga memberikan dampak langsung terhadap terjadinya krisis energi di beberapa negara maju.
Gangguan rantai pasok global dan konflik Rusia-Ukraina telah memberikan tekanan serius pada kenaikan harga pangan dan energi di sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Jerman. Tercatat inflasi di AS pada Mei 2022 sebesar 8,6 persen (year on year/yoy), Inggris 9 persen yoy, sedangkan inflasi Jerman 8,7 persen (yoy).
Baca juga: Indonesia Dorong Perluasan Penggunaan Mata Uang Lokal di Forum G20, Apa Manfaatnya?
Inflasi yang tinggi di negara-negara tersebut dipicu kenaikan harga pangan dan energi sejak dimulainya perang Rusia-Ukraina di tengah pandemi Covid-19 yang belum selesai.
Tingginya angka inflasi itu telah direspon dengan percepatan normalisasi kebijakan moneter melalui suku bunga acuan bank sentral di negara-negara maju. Sepanjang tahun ini, tercatat Bank of England telah menaikan suku bunga acuan sebanyak tiga kali sedangkan Bank Sentral AS (The Fed) telah menaikkan sebanyak dua kali dan diperkirakan suku bunga acuan akan naik sebanyak 4-5 kali sampai dengan akhir tahun 2022 demi meredam gejolak inflasi.
Normalisasi kebijakan moneter yang cepat di negara-negara maju tentu akan meningkatkan risiko pembalikan arus modal ke aset yang dianggap aman (safe haven asset). Fenomena ini dapat berpotensi menganggu stabilitas nilai tukar mata uang di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Berdasarkan catatan Bank Indonesia (BI), mata uang rupiah mengalami depresiasi di kisaran 2,87 persen sampai dengan 23 Mei 2022 dibandingkan dengan level akhir 2021. Namun, kinerja rupiah masih relatif lebih baik dibandingkan dengan mata uang negara berkembang lain misalnya rupee (India), ringgit (Malyasia), dan won (Korea Selatan) yang tercatat mengalami depresiasi lebih dalam.
Baca juga: Kurangi Ketergantungan terhadap Dollar AS, Indonesia Dorong Perluasan Transaksi Mata Uang Lokal
Akselerasi normalisasi kebijakan moneter menimbulkan ketidakpastian di pasar keuangan global sehingga berisiko memberikan tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Salah satu strategi untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah adalah melalui diversifikasi transaksi bilateral dengan mata uang lokal atau dikenal dengan istilah Local Currency Settlement (LCS).
Selain itu, penerapan LCS dapat mendorong efisiensi biaya transaksi karena pelaku usaha tidak perlu mengonversi mata uangnya menjadi dolar AS dalam bertansaksi ke luar negeri. Diversifikasi mata uang dalam penyelesaian transaksi bilateral dapat meredam terjadinya risiko ketidakstabilan nilai tukar yang disebabkan oleh syok yang bersumber dari keuangan global.
Sampai saat ini BI telah menjalin kerjasama dengan empat negara mitra dagang terbesar Indonesia, yaitu Thailand, Malaysia, Jepang, dan China dalam implementasi LCS. Pertimbangan dalam pemilihan negara mitra diprioritaskan yang mempunyai nilai transaksi perdagangan dan investasi langsung yang tinggi di dalam negeri.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.