Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pertalite Bakal Naik, Pengamat: Lebih Baik Kendalikan Penggunaannya Hanya Buat Motor dan Angkutan Umum

Kompas.com - 22/08/2022, 17:15 WIB
Yohana Artha Uly,
Akhdi Martin Pratama

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah berencana menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite sebagai upaya menekan besarnya beban subsidi dan kompensasi energi. Kendati demikian, sejumlah pengamat ekonomi menilai kebijakan ini kurang tepat.

Pengamat menilai lebih baik pemerintah melakukan pengendalian penggunaan BBM bersubdisi, ketimbang menaikkan harga Pertalite yang berisiko memukul daya beli masyarakat.

Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan, APBN memang membengkak karena beban anggaran subsidi dan kompensasi energi sebesar Rp 502,4 triliun di tahun ini, serta berpotensi mencapai Rp 600 triliun jika konsumsi Pertalite melebihi kuotanya yang sebanyak 23 juta kilo liter.

Baca juga: Konsumsi BBM Lebih Tinggi dari Sebelum Pandemi, Pertamina: Stok Pertalite dan Solar Aman

Namun, menurutnya opsi menaikkan harga BBM bersubsidi bukanlah pilihan yang tepat saat ini. Alasannya, dengan proporsi konsumen BBM bersubsidi yang mencapai 70 persen, mencakup Pertalite dan Solar, sudah pasti jika ada kenaikan harga akan langsung menyulut inflasi.

"Kalau kenaikan Pertalite hingga mencapai Rp 10.000 per liter, kontribusi terhadap inflasi diperkirakan mencapai 0,97 persen, sehingga inflasi tahun berjalan bisa mencapai 6,2 persen yoy (year on year). Dengan inflasi sebesar itu akan memperpuruk daya beli," jelasnya dalam keterangan tertulis, dikutip Senin (22/8/2022).

Oleh sebab itu, ia menyarankan untuk pemerintah tidak menaikkan harga Pertalite, tetapi fokus pada pembatasan BBM bersubsidi, yang sekitar 60 persen tidak tepat sasaran.

Fahmy mennilai, pembatasan BBM subsidi paling efektif pada saat ini adalah menetapkan kendaraan roda dua dan angkutan umum yang berhak menggunakan Pertalite dan Solar.

"Di luar sepeda motor dan kendararan umum, konsumen harus menggunakan Pertamax ke atas. Pembatasan itu, selain efektif juga lebih mudah diterapkan di semua SPBU," ungkap dia.

Baca juga: Soal Kenaikan Harga Pertalite, Wapres: Masih dalam Pembahasan...

Pembatasan penggunaan BBM bersubsidi itu bisa dilakukan dengan merevisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM. Lewat revisi maka dapat diatur bahwa kriteria penerima BBM bersubsidi hanya sepeda motor dan kendaraan umum.

Begitu pula menurut pandangan Wakil Rektor Universitas Paramadina, Handi Risza. Ia menyarakan, pemerintah melakukan pengedalian BBM bersubsidi dengan membatasi penggunanya untuk kalangan tertentu, ketimbang mengeluarkan kebijakan kenaikan harga.

Ia mengatakan, pemerintah sebaiknya membuat kebijakan pengendalian BBM bersubsidi, dengan membatasi penggunaannya hanya untuk angkutan umum dan sepeda motor dengan kapasitas sentimeter kubik (CC) kecil.

"Untuk saat ini, dengan mempertimbangkan proses pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung, pemerintah sebaiknya membuat kebijakan pengendalian BBM bersubsidi," katanya.

Handi menekankan, kenaikan harga BBM bersubsidi akan berimbas pada kenaikan harga-harga barang, baik yang berdampak langsung maupun tidak langsung. Di sisi lain, tingginya harga komoditas di pasar global sudah lebih dulu menyebabkan kenaikan inflasi di sejumlah negara, termasuk Indonesia.

Inflasi Indonesia per Juli 2022 tercatat sebesar 4,94 persen (yoy), dengan inflasi makanan yang telah mencapai 10,32 persen (yoy). Maka, dengan adanya kenaikan BBM akan semakin mengerek laju inflasi indonesia.

Ia bilang, dampak lonjakan inflasi itu tentu akan sangat memberatkan bagi kehidupan masyarakat kebanyakan di tengah upaya untuk pulih pasca melandainya Covid-19.

Rencana kenaikan BBM bersubdisi juga akan memberikan pengaruh yang besar bagi kalangan dunia usaha, terutama sektor UMKM dan usaha kecil informal lainnya yang seringkali tidak tersentuh oleh program bantuan sosial pemerintah.

Selama ini, sebagian besar sektor UMKM dan informal tersebut memanfaatkan BBM bersubsidi dalam menjalankan usahannya. Apalagi sebelumnya mereka juga sudah terkena dampak dari kenaikan harga minyak goreng.

"Kenaikan BBM bersubsidi dikhawatirkan akan semakin membuat pengusaha UMKM dan informal lainnya semakin terpuruk, dikhawatirkan angka kemiskinan dan pengangguran akan semakin meningkat," tutup Handi.

Baca juga: Diisukan Naik Jadi Rp 10.000, Berapa Harga Asli Pertalite Tanpa Subsidi?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com