Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Sunardi Siswodiharjo
Food Engineer dan Praktisi Kebugaran

Food engineer; R&D manager–multinational food corporation (2009 – 2019); Pemerhati masalah nutrisi dan kesehatan.

"Locavore", Pangan Lokal Pangan Masa Depan

Kompas.com - 17/10/2022, 09:32 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DI tengah isu dan ancaman krisis pangan dunia, tahun 2022 ini World Food Day atau Hari Pangan Sedunia yang diperingati setiap tanggal 16 Oktober memiliki tema “Leave No One Behind”.

Tema yang juga menjadi semacam seruan “Jangan tinggalkan siapa pun” karena banyaknya jumlah orang yang berisiko tinggi mengalami kelaparan tingkat serius sepanjang masa, terutama di Asia dan Afrika.

Dunia dan setiap negara harus membuka mata terhadap krisis pangan global ini dan bertindak sekarang untuk menghentikannya. Untuk mewujudkannya, negara harus memiliki sistem pangan yang resilient atau tangguh dengan mewujudkan “four betters” yaitu better production, better nutrition, better environment, and better life.

Baca juga: Jokowi: Sumber Pangan Lokal Harus Dikembangkan, Ciptakan Kemandirian

Dengan demikian sistem pangan yang dimiliki bersifat berkelanjutan (sustainable) dan tidak mudah terguncang dinamika geopolitik, perubahan iklim, ancaman bencana alam maupun non-alam.

Pangan lokal sejatinya sanggup menjadi salah satu alternatif utama yang memenuhi kriteria sistem pangan yang tangguh.

Locavore, merujuk pada gerakan yang memprioritaskan makan makanan yang ditanam atau diproduksi secara lokal. Istilah locavore sejatinya telah dicetuskan tahun 2005 oleh Jessica Prentice, seorang koki profesional dan penulis buku Full Moon Feast: Food and the Hunger for Connection, asal San Francisco, Amerika Serikat (AS).

Locavore merupakan perpaduan antara kata local dan akhiran vore, yang berarti memakan makanan tertentu, mirip dengan istilah herbivore atau omnivore.

Sangat disayangkan, sejauh ini pangan lokal belum sepenuhnya mampu menjadi andalan untuk memenuhi kebutuhan sumber karbohidrat. Yang terjadi justru jumlah konsumsi gandum dan terigu, yang diperoleh 100 persen dari impor, semakin hari semakin meningkat.

Bahkan dilihat dari aspek Pola Pangan Harapan (PPH), menurunnya konsumsi beras malah dibarengi dengan kenaikan konsumsi terigu, bukan pangan lokal sumber karbohidrat yang lain seperti umbi-umbian, jagung ataupun sorgum.

Arah kebijakan pangan

Isu pangan selalu menjadi isu strategis karena berkelindan dengan urusan politik dan ekonomi. Persoalan kebijakan, stabilitas, ketersediaan, dan harga pangan tidak akan pernah terlepas dari kebijakan dan stabilitas politik maupun ekonomi.

Demikian juga terminologi kebijakan pangan yang digunakan lebih sering disesuaikan untuk keperluan yang bersifat politik. Orientasi atau arah kebijakan pangan selama ini masih bertumpu pada konsep ketahanan pangan (food security) semata, di mana kebijakan impor pangan masih diperbolehkan demi stabilitas harga pangan.

Orientasi kebijakan pangan seperti ini semestinya harus segera diubah ke tingkat kebijakan yang lebih tinggi yaitu kemandirian pangan (food resilience), di mana sepenuhnya negara memperoleh bahan dan sumber pangan dari produk dalam negeri.

Terbukti pangan lokal lebih tahan terhadap situasi krisis pangan global selama terjadi pandemi Covid-19.

Indonesia mempunyai anugerah besar dari Tuhan berupa biodiversitas atau keragaman hayati yang sangat melimpah. Namun sayangnya tetap belum sanggup menjadikannya sebagai kekuatan untuk mewujudkan kemandirian pangan.

Hal ini mudah dibuktikan dengan masih tingginya aktivitas impor bahan-bahan pokok untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Merujuk pada data Badan Pusat Stastik (BPS) tahun 2020, Indonesia telah mengimpor biji gandum sebanyak 10,3 juta ton senilai lebih dari Rp 30 triliun. Biji gandum merupakan bahan baku tepung terigu dan 100 persen dari kebutuhan nasional dipenuhi dari impor.

Baca juga: Harga Gandum Meningkat, Komisi IV Dukung Kementan Perluas Substitusi Pangan Lokal dengan Sorgum

Kemudian, impor kedelai 2,5 juta ton senilai lebih dari Rp 10 triliun dan setara dengan 83 persen kebutuhan nasional. Belum lagi impor gula 5,5 juta ton senilai lebih Rp 25 triliun, setara dengan 92 persen kebutuhan nasional.

Meskipun relatif sedikit, beras ternyata masih ada impor 0,356 juta ton senilai lebih dari Rp 2 triliun.

Predikat Indonesia sebagai negara dengan megabiodiversitas terbesar kedua di dunia setelah Brasil, hanya akan menjadi sebuah potensi alam yang sia-sia jika tidak ada political will yang kuat dari pemerintah untuk mewujudkannya menjadi sumber pangan lokal yang melimpah.

Di dunia terdapat lebih dari 50 ribu jenis tanaman yang dapat dimakan. Namun hanya 15 jenis tanaman pangan yang menjadi penyedia 90 persen dari asupan energi. Di antara 15 komoditas pangan tersebut, beras, jagung, dan gandum menjadi konsumsi pangan utama dunia termasuk Indonesia.

Kaum perempuan di Kampung PongKeling-Kobok, Kelurahan RonggaKoe, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, NTT, Sabtu, (16/4/2022) menghidangkan menu pangan lokal ubi kayu dan ketupat kepada Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat beserta rombongannya. (KOMPAS.com/MARKUS MAKUR)KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Kaum perempuan di Kampung PongKeling-Kobok, Kelurahan RonggaKoe, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, NTT, Sabtu, (16/4/2022) menghidangkan menu pangan lokal ubi kayu dan ketupat kepada Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat beserta rombongannya. (KOMPAS.com/MARKUS MAKUR)
Jalan terjal pangan lokal

Untuk merealisasikan cita-cita pangan lokal sebagai pangan masa depan, sesungguhnya telah disiapkan “Roadmap Diversifikasi Pangan Lokal Sumber Karbohidrat Non-Beras (2020-2024)” oleh Kementerian Pertanian.

Jagung menjadi salah satu komoditi prioritas dalam peta jalan tersebut, selain ubi kayu, sagu, kentang, pisang, dan talas. Namun, peta jalan pangan lokal tersebut akan selalu menemui jalan terjal, kecuali mendapat dukungan penuh pemerintah, salah satunya dalam bentuk keberpihakan politik anggaran.

Beberapa langkah strategis berikut bisa ditempuh untuk membantu mewujudkan cita-cita swasembada jagung serta komoditas lainnya.

Pertama, memberikan pagu anggaran yang lebih memadai, tetapi tentu harus disertai pertanggungjawaban yang baik dalam pelaksanaannya.

Selama ini, anggaran selalu menjadi salah satu kendala utama untuk mengeksekusi program-program yang ada dalam roadmap serupa, yang sejatinya sudah berulang kali dijalankan dan banyak mengalami kegagalan.

Kedua, memastikan ketersediaan bahan baku pangan lokal dengan budidaya, bibit/benih unggul serta teknologi yang memadai. Hal ini penting agar kualitas, kuantitas dan kontinuitas untuk industri olahan dan konsumsi dapat terpenuhi sesuai standar.

Ketiga, memastikan harga pangan lokal yang kompetitif. Hal ini hanya bisa dicapai jika produksi melimpah hingga mencapai kapasitas produksi maksimumnya.

Keempat, meningkatkan preferensi atau kesukaan terhadap pangan lokal. Jepang bisa menjadi contoh bagaimana menanamkan kesukaan pada produk pangan lokal sejak usia dini dengan program school lunch yang menunya penuh dengan sajian pangan lokal.

Produksi melimpah akan menjadi percuma jika tidak ada permintaan dan preferensi dari masyarakat. Kesan inferior dan lekat dengan kemiskinan harus dijauhkan dari pangan lokal.

Kelima, menaikkan skala usaha UMKM pangan lokal. Peningkatan ini perlu dukungan modal dan teknologi sehingga produksi menjadi lebih efisien dan menghasilkan produk yang kompetitif.

Dengan demikian, jika tercapai swasembada pangan, maka akan menjadi swasembada yang berkelanjutan (sustainable) serta menyejahterakan petani.

Wakil Bupati Garut mencicipi sejumlah produk pangan lokal yang ada di Pesantren Ath Thoriq sambil menerima penjelasan fungsi dari masing-masing tanaman pangan yang ada, Rabu (21/09/2022)KOMPAS.COM/ARI MAULANA KARANG Wakil Bupati Garut mencicipi sejumlah produk pangan lokal yang ada di Pesantren Ath Thoriq sambil menerima penjelasan fungsi dari masing-masing tanaman pangan yang ada, Rabu (21/09/2022)
Pangan lokal pangan masa depan

Pangan lokal sejatinya bisa menjadi salah satu pilihan utama untuk mewujudkan sistem pangan yang tangguh serta berkelanjutan. Pangan lokal sanggup mengurangi jejak karbon (carbon footprint) yang berasal dari sumber pangan kita.

Salah satu cara paling efektif mengurangi jejak karbon yang berasal dari sumber pangan kita adalah dengan memperbanyak jumlah konsumsi pangan lokal dan mengurangi pangan impor.

Rantai pasok juga akan menjadi jauh lebih pendek. Secara global, emisi selalu terkait dengan makanan jenis apa yang kita taruh di piring kita. Memperbanyak makan sumber karbohidrat berupa sayur dan buah lokal yang jelas bentuk nyata diet rendah karbon.

Hal ini juga merupakan wujud komitmen dan aksi serta kontribusi nyata dalam mengurangi emisi karbon untuk menghadapi fenomena perubahan iklim global dan bagaimana cara kita beradaptasi terhadap perubahan iklim.

Transportasi bahan pangan sebagian besar masih menggunakan bahan bakar fosil. Jarak tempuh bahan pangan (food miles) adalah jarak tempuh transportasi atau distribusi bahan pangan sejak proses produksi hingga mencapai konsumen.

Jarak tempuh merupakan salah satu faktor untuk menilai dampak lingkungan dari bahan pangan, termasuk dampaknya terhadap pemanasan global. Semakin jauh jarak tempuh semakin tidak ramah lingkungan.

Konsep food miles sesungguhnya telah dicetuskan pada awal 1990-an di Inggris oleh Tim Lang dari Sustainable Agriculture Food and Environment (SAFE), Alliance, London, UK. Pertama kali muncul dalam laporan bertajuk “The Food Miles Report: The dangers of long-distance food transport”, yang ditulis oleh Angela Paxton (1994).

Merujuk pada konsep food miles tersebut, maka sebenarnya pangan lokal akan mampu menjadi pangan yang berkelanjutan (sustainable food) sekaligus menjadi paradigma baru pangan masa depan karena beberapa sebab.

Pertama, lokalitas pangan mendukung gerakan diet karbon yang dicirikan oleh food miles yang rendah.

Kedua, tingkat diversitas atau keragaman pangan lokal di Indonesia yang tinggi sehingga mampu memberikan banyak pilihan sebagai sumber kalori, tidak terlalu bergantung pada satu atau dua bahan pangan saja.

Diversitas pangan memungkinkan masyarakat memiliki daya lentur (flexibility) yang tinggi sehingga cenderung mampu bertahan hidup dengan lebih baik pada saat terjadi krisis dan bencana karena memiliki banyak alternatif pangan.

Bisa dikatakan bahwa diversitas pangan akan membantu masyarakat memiliki daya adaptasi (resilience) yang tinggi. Sebab lain pangan lokal bisa menjadi pangan masa depan adalah kandungan tinggi nutrisi yang tidak kalah dengan pangan impor.

Merujuk pada Gastronomi Indonesia, Garjito et al. (2019), disebutkan bahwa dalam Serat Centhini, sebelum abad ke-19, masyarakat Jawa sudah mengenal kegiatan yang disebut “ngrowot”, yaitu kegiatan mengonsumsi umbi-umbian (pala kependhem) dan sayuran baik yang segar maupun dikukus atau direbus terlebih dahulu.

Umbi-umbian mengandung senyawa-senyawa yang sangat bermanfaat dan dibutuhkan oleh tubuh manusia, yang disebut senyawa fungsional, misalnya senyawa antioksidan atau penangkal radikal bebas seperti beta-karoten dan antosianin yang mampu menghambat penyakit degeneratif.

Salah satu contohnya adalah garut, umbi yang mempunyai kemampuan dapat mengatasi masalah pencernaan serta mengandung fosfor, kalsium, zat besi, vitamin C, vitamin A, riboflavin dan niasin yang dibutuhkan agar tubuh lebih sehat dan bugar.

Belum lagi buah-buahan lokal dan sayur yang sangat banyak jenisnya juga merupakan sumber serat tinggi, vitamin serta mineral. Pangan yang sehat dan baik untuk diri serta lingkungan adalah pangan masa depan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com