Pada titik ini, pasar digital mampu menyediakan segmen pasar mainstream, di mana baik perusahaan maupun konsumen akan mendapatkan harga terjangkau dengan memberikan manfaat yang diharapakan oleh pembeli.
Selama ini pasar konvesional baik itu pasar rakyat, pusat perbelanjaan modern dan pasar UMKM konvesional menempatkan pasar dua segmentasi, yakni: high-end market dan low- end market.
Pasar rakyat diidentikan dengan segmentasi low-end, tercirikan biaya transaksi rendah- manfaat rendah dan pusat perbelanjaan modern tercirikan biaya transaksi tinggi-manfaat tinggi.
Munculnya, pasar digital menggerus pangsa pasar dua segmentasi ini, pada akhirnya, pasar digital terus berkembang secara ekspansional.
Sebagai bukti empiris bagaimana pasar digital mendistrupsi pasar konvesional, dapat dilihat bagaimana inovasi pelayanan perusahaan jasa transportasi online seperti Uber, Grab, Gojek menggerus pasar konvensional jasa transportasi seperti ojek pengkolan di segmentasi low-end market dan taxi berbasis argomenter konvesional pada segmentasi high-end market.
Konsumen jasa transportasi ramai-ramai memilih jasa transportasi daring untuk menunjang moblitasnya.
Pertimbangannya seorang konsumen dapat memesan jasa layanan transportasi di manapun, kapanpun dengan biaya relatif lebih murah.
Sementara penyedia jasa tidak mesti menanggung biaya operasional jasa transportasi dan mendapat manfaat lebih karena jangkau pasarnya makin luas (market share).
Belajar dari pengalaman itu, ada semacam kesimpulan sementara dalam memori kolektif publik yang menyatakan disrupsi teknologi digital tidak hanya membelah sistem pasar, tapi juga membenturkannya.
Wajar jika ada kekhawatiran transformasi digital sektor perdagangan seperti pasar rakyat dan UMKM akan merusak pangsa pasar konvensional.
Namun, pemikiran seperti itu tidak salah, meski tidak selalu benar. Karena pada akhirnya, baik konsumen maupun perusahaan akan menyadari, ada hal-hal yang tidak dapat dipenuhi oleh pasar digital.
Pasar digital tidak bisa menghadirkan “human touch” dan “human experience” dalam berbelanja.
Sebagai contoh, segelas kopi yang Anda beli di coffeshop dengan harga jauh lebih murah dan Anda minum di rumah, akan berbeda pengalamannya ketika kopi itu Anda nikmati di coffeshop langsung, meskipun Anda akan membayar sedikit lebih mahal.
Di pasar rakyat digital, kita bisa jadi mendapatkan barang yang kita pesan tiba didepan pintu dengan harga yang lebih terjangkau.
Namun kita kehilangan kesempatan untuk mendapatkan keramahan dan pemenuhan kebutuhan interaksi sosial (human touch).