Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Anggito Abimanyu
Dosen UGM

Dosen Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ketua Departemen Ekonomi dan Bisnis, Sekolah Vokasi UGM. Ketua Bidang Organisasi, Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia

Bantalan Krisis Global 2023

Kompas.com - 09/01/2023, 07:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MASIH soal ancaman krisis global 2023. Prediksi mengenai krisis global 2023 memang belum pasti sedalam apa.

Konsensus mengatakan, dunia akan mengalami kelambatan pertumbuhan ekonomi dibanding tahun 2022. Bahkan, IMF mengatakan bahwa sepertiga ekonomi dunia akan mengalami resesi.

Apapun yang akan terjadi, sedalam apapun kondisi krisis, diyakini bahwa 2023 akan lebih berat dibandingkan 2022. Pertumbuhan ekonomi akan lebih lambat. Inflasi belum akan menurun.

Perdagangan dunia masih terdisrupsi. Pandemi Covid-19 belum sepenuhnya pergi, khususnya di China.

PHK deras mulai terjadi, tidak hanya di sektor yang paling luar seperti properti, manufaktur, dan perdagangan, tetapi juga merembet ke sektor yang selama ini kuat menahan krisis seperti pertanian, UMKM, dan jasa.

Negara yang memiliki bantalan kuat memiliki tameng bagi serangan krisis global. Bantalan itu biasanya berupa kecukupan cadangan devisa, kedalaman keuangan, kesehatan bank, dana cadangan fiskal, dan diversifikasi perdagangan serta keragaman pasar.

Banyak negara yang jatuh kelubang resesi dalam karena tidak memiliki bantalan penyangga yang kuat. Cirinya adalah negara yang terbuka atas arus barang, jasa, dan keuangan luas, namun tidak dibangun ketahanan ekonomi dalam negeri.

Mereka yang tidak memiliki sumber daya alam, terutama energi, akan menjadi konsumen produk energi sehingga bisa jatuh ke lubang resesi apabila tidak melakukan diversifikasi.

Negara yang memiliki ekspos investasi portolio asing rentan kepada capital outflow dan depresiasi nilai tukar serta imported inflation apabila tidak dikendalikan.

Negara yang juga akan terkena krisis dalam adalah net importir energi dan pangan. Termasuk negara dengan defisit neraca perdagangan akan lebih mudah terserang krisis ekonomi yang berasal dari luar.

Bagaimana dengan Indonesia?

Dalam dua kali krisis yang melanda, baik 1998 dan 2008, perekonomian Indonesia sangat rentan terhadap krisis karena tidak adanya bantalan yang cukup.

Untungnya, Indonesia kala itu memiliki sumber daya alam sebagai sumber dalam negeri dan ekspor.

Pasar keuangan Indonesia juga tidak terlalu terbuka dari arus modal dari luar negeri. Indonesia juga memiliki basis UMKM dan konsumen domestik yang luas sebagai penyangga perekonomian.

Saat ini, kondisi dan struktur perekonomian Indonesia belum banyak berubah. Masih bertumpu pada sumber daya alam dan konsumsi domestik sebagai basis.

Ekspos ke luar negeri baik perdagangan maupun keuangan masih terbatas. Bedanya adalah saat ini pengelolaan kebijakan makro Indonesia jauh lebih baik dari sebelumnya.

Kebijakan moneter sudah cukup adaptif dan responsif pada perekonomian global. Bank Indonesia selalu berada di radar perekonomian dunia dan memastikan perbedaan (spread) suku bunga antara suku bunga domestik dan luar negeri terjaga.

Arus modal keluar terus dijaga dan arus modal masuk dibuka seluas-luasnya dengan instrumen-instrumen investasi yang menarik.

Inflasi, meskipun terpengaruh, terus dijaga dalam sasaran jangka panjang 3 persen plus minus 1 persen. Nilai tukar relatif stabil dengan cadangan devisi yang cukup untuk membiayai kebutuhan impor dan pembayaran luar negeri.

Kebijakan fiskal juga terus dijaga keberlanjutannya. Defisit terus dijaga pada kisaran 3 persen dari PDB.

Meskipun demikian, APBN Indonesia tetap dapat menjadi shock absorber dan tidak masalah apabila defisit melonjak di atas 3 persen.

Penerimaan pajak dan PNBP Indonesia sempat terseok karena Covid-19 saat ini bangkit dengan capaian di atas target tahun 2022.

Meskipun belum dikatakan menyentuh rasio perpajakan yang stabil, mudah-mudahan momentum kenaikan pajak dari sumber daya alam, minyak, batu bara, kepala sawit (CPO) dan pertambangan umum dapat menjadi momentum perbaikan penerimaan perpajakan yang stabil dan berkelanjutan.

Saat ini jarang terdengar keluhan pengusaha di sektor yang booming tersebut teriak dikejar-kejar bayar pajang ekstra. Pengusaha minyak, batubara dan CPO mengalami windfall, wajar apabila mereka membayar pajak lebih besar.

Utang Indonesia yang melonjak terutama saat masa pandemi covid-19 masih dalam rasio aman karena berada di bawah standar.

Kita semua concern dengan kenaikan nilai utang, namun manajemen utang berbasis utang dalam negeri dan tenor jangka panjang masih dapat dikatakan aman.

Akumulasi SILPA (sisa lebih pembiayaan anggaran), yakni ketersediaan pembiayaan memiliki kelebihan karena turunnya defisit APBN dari rencana 2022 akan menjadi pertahanan dan sumber melawan krisis 2023.

Kebijakan sektor keuangan yang berorientasi pembiayaan dalam negeri memang mengakibatkan bisnis perbankan terbatas. Namun ini justru menjadi perisai bank dan lembaga keuangan dari serangan krisis.

Kita berharap UU P2SK yang disahkan dapat semakin memperkuat ketahanan sektor keuangan. Mandat kebijakan dari otoritas yang semakin luas membuat BI, OJK, dan LPS memiliki diskresi yang labih banyak terutama menghadapi krisis keuangan.

Burden sharing BI dan Pemerintah untuk pembiayaan APBN dalam kondisi krisis sudah dilegalisasi jika sewaktu-waktu dimanfaatkan.

Yang sekarang harus dibenahi adalah kondisi sektor riil dan ketenagakerjaan. Dampak dua tahun krisis covid-19 masih belum sepenuhnya pulih.

Bank masih diberikan relaksasi untuk nasabah bermasalah. Sampai sekarang fasilitas tersebut masih dibutuhkan.

Digitalisasi sudah terjadi, namun masih terbatas pada tingkat konsumsi. Aplikasi teknologi belum menyentuh perbaikan produktivitas di sektor produksi dan perdagangan global.

Indonesia masih belum menjadi bagian dari jaringan global (global value chain) karena teknologi industri manufaktur Indonesia masih sangat sederhana dibandingkan negara-negara tetangga dan global.

Ketenagakerjaan Indonesia masih harus menyesuaikan pasca-Perpu Cipta Kerja yang kontroversial. Sekolah vokasi baru saja digerakkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja terampil dan siap pakai. Produktivitas SDM ini masih butuh waktu untuk kompetitif.

Kelemahan dalam transformasi perekonomian Indonesia tercermin pada tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia dan daya saing produk Indonesia.

Ini mengakibatkan pertumbuhan ekonomi belum cepat kembali di atas 6-7 persen pascacovid-19 dan disrupsi perdagangan.

Seiring dengan kendornya PPKM, ekonomi Indonesia masih harus menyesuaikan kembali dengan aktivitas dan kegiatan bisnis dalam negeri.

Intinya banyak pengamat ekonomi yang menilai kondisi perekonomain Indonesia kuat dan stabil di sisi kebijakan makro, namun masih lemah pada sektor riil, mikro, dan produktivitasnya.

Kita patut bersyukur, di dalam mengelola goncangan dan tantangan yang luar biasa akibat pandemi yang mengancam nyawa, mengancam sosial ekonomi dan keuangan, perekonoman Indonesia mampu merespons secara cepat tahun 2020.

Kemudian kita tetap mengawal pemulihan ekonomi dan pemulihan masyarakat tahun 2021 dan tahun 2022 dengan tanpa membahayakan kita sendiri.

Kebijakan makro kita membuktikan cukup kuat dan kredibel untuk diharapkan menjadi bantalan menghadapi krisis global 2023.

Kita juga berharap kondisi ekonomi yang sangat kuat tahun 2022 juga dapat menjadi instrumen yang diandalkan masyarakat, pemerintah, dan perekonomian untuk bisa terus bekerja menjalankan roda usaha di dalam mengawal pemulihan 2023.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com