Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Deforestasi Jadi Momok Produk Sawit Indonesia

Kompas.com - 08/02/2023, 11:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sawit di kawasan hutan tentu saja ilegal. Kebun-kebun ini ada di hutan konservasi seluas 115.694 hektar, hutan lindung 174.910 hektar, hutan produksi terbatas 454.849 hektar, hutan produksi biasa 1.484.075 hektar, dan hutan produksi yang dapat dikonversi 1.224.291 hektar. Disinyalir banyak kebun sawit memanfaatkan lahan gambut yang rentan terhadap lingkungan (mengganggu cadangan karbon di lahan gambut).

Berdasarkan Atlas Peta Lahan Gambut Indonesia, dari luas kebun sawit 14,38 juta ha, tak kurang dari 10.634.280 ha (72,80 persen) yang berada di Sumatera dan Kalimantan terletak di lahan gambut. Dari lahan gambut yang digunakan untuk kebun sawit seluas itu, seluas 2.815.914 ha (26,47 persen) merupakan kebun sawit di lahan gambut yang mempunyai ketebalan 50-100 cm. Sisanya, 7.820.366 ha (73,53 persen) merupakan kebun sawit di lahan gambut dengan ketebalan sedang sampai sangat tebal.

Kebun sawit yang dianggap mengancam cadangan karbon (yang mempunyai ketebalan gambut sedang- sangat tebal) seluas 7,820.366 ha ( 53,56 persen) dari seluruh areal sawit di Indonesia (yang seluas 14,38 juta ha).

Indonesia mempunyai standar nasional tentang sertifikasi pengelolaan sawit yang disebut ISPO (Indonesia atau Indonesian Sustainable Palm Oil), yakni standar nasional Indonesia bagi minyak sawit berkelanjutan yang ditujukan untuk meningkatkan peran minyak kelapa sawit Indonesia di pasar internasional dan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, yang mengacu pada standar global yang terdapat dalam RSPO (Roundtable On Sustainable Palm Oil). Namun sertifikasi ISPO bagi kebun sawit dan industri sawit di Indonesia kurang berjalan baik.

Baca juga: Membasahi Lahan Gambut, Bercocok Tanam hingga Beternak, Cara Suku Anak Dalam Jambi Cegah Kebakaran Berulang

Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 44/2020, setiap perkebunan sawit di Indonesia, baik yang dikelola perkebunan besar, perkebunan swasta besar, maupun perkebunan rakyat, wajib melakukan sertifikasi ISPO. Direktur Perlindungan Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan), Baginda Siagian menyebut, hingga saat ini dari 14,38 juta hektar lahan sawit, baru 3,8 juta ha (26,24 persen) yang ter-ISPO-kan.

Mengapa sertifikasi ISPO kebun sawit dan industri sawit di Indonesia kurang berjalan dengan baik? Ada sejumlah sebab. 

Pertama, di satu sisi untuk meningkatkan produksi minyak sawit, sebagian pengusaha sawit menghendaki perluasan kebun melalui ekstensifikasi. Di sisi lain, cara ekstensifikasi kebun sawit dilakukan dengan prosedur yang tidak benar (ilegal), yang dilakukan korporasi/perusahaan maupun masyarakat yang mengatasnamakan petani sawit.

Sampai saat ini, terdapat kebun sawit yang masuk dalam kawasan hutan (seluas 3,1 - 3,4 juta ha). Dari 3,1 - 3,4  juta ha itu, jika kita pakai data KLHK, 576.983 ha sedang dalam proses permohonan persetujuan pelepasan kawasan hutan. Sisanya, sekitar 1,2-1,7 juta ha, tak memohon izin pelepasan agar legal. Ada dugaan karena perkebunan sawit ini sebagian dikuasai rakyat/perorangan.

Meskipun Kementan belum lama ini mengeklaim bahwa kebun sawit rakyat di dalam kawasan hutan hanya seluas 12.533,52 hektar yang tersebar di enam provinsi sentra perkebunan kelapa sawit sejak tahun 2021. Saat ini data tersebut sedang dalam proses telahaan, inventarisasi, dan validasi dari Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, KLHK.

Kita sama-sama tahu mengapa ada kebun sawit di kawasan hutan. Selain lemahnya pengawasan, juga tidak sikronnya tata ruang wilayah provinsi atau kabupaten dengan tata guna lahan di KLHK. Izin lokasi dan izin prinsip perkebunan ada di kabupaten dan provinsi. Tetapi izin pelepasan kawasan hutan menjadi kebun ada di KLHK.

Kedua, banyak kebun sawit memanfaatkan lahan gambut yang rentan terhadap lingkungan (mengganggu cadangan karbon). Peran hutan alam primer rawa gambut di Indonesia, khususnya di Kalimantan dalam percaturan pengendalian iklim mulai menampakkan sosok yang sesungguhnya.

Dalam laporan riset yang diterbitkan Nature Sustainability pada 18 November 2021, tim peneliti dari Conservation International, Amerika Serikat, membuat peta terbaru bagian Bumi yang memiliki konsentrasi karbon amat tinggi dan jika terlepas akan memicu bencana iklim. Wilayah gambut di Kalimantan dan Papua termasuk yang memiliki konsentrasi karbon di Bumi.

Untuk Indonesia, selain Kalimantan yang dipetakan menyimpan karbon yang sangat tinggi adalah Papua bagian selatan. Kawasan itu merupakan penyerap karbon alami dan dapat dianggap jadi sumber penyimpan sumber daya yang tidak bisa dipulihkan. Sebab jika karbon yang tersimpan dilepaskan oleh aktivitas manusia, butuh waktu berabad-abad bagi daerah itu untuk pulih.

Jika karbon lepas, hal itu tidak dapat dipulihkan dalam jangka waktu tertentu, minimal selama 30 tahun.

Sejak tahun 2010, pertanian, penebangan kayu dan kebakaran hutan melepaskan emisi karbon setidaknya 4 gigaton (Gt) karbon yang tidak dapat dipulihkan. Sisanya 139 – 443 gigaton (Gt) karbon dunia yang tidak dapat dipulihkan itu menghadapi resiko konversi penggunaan lahan dan perubahan iklim.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com