Mereka juga memiliki akses yang lebih luas ke universitas dalam memperoleh berbagai saran konsultasi bisnis.
Hal ini mengakibatkan wirausaha hasil didikan kampus lebih termotivasi untuk mengelola bisnisnya agar terus tumbuh melalui serangkaian inovasi.
Mereka memiliki pandangan yang lebih luas terhadap cakupan pasar yang dituju, sehingga ekspor menjadi bagian utama dari aktivitas bisnis.
Wirausaha jebolan perguruan tinggi juga memiliki kecakapan dalam riset pasar sehingga mereka dapat memanfaatkan peluang bisnis tidak berdasarkan pendekatan subjektif (Hegarty dan Jones, 2008).
Intuisi tidak menjadi senjata utama ketika menilai peluang bisnis yang hadir di depan mata.
Bidang usaha wirausaha fokus pada bidang jasa spesifik yang berbasis pada pengetahuan dan tidak memandang jender.
Mereka juga berusia lebih muda, mengimplementasikan konsep-konsep kewirausahaan dan telah memperoleh banyak pengalaman dari berbagai perusahaan terkemuka.
Mereka menggunakan pengalamannya di sejumlah perusahaan untuk membangun jejaring sosial yang lalu digunakannya sebagai modal ketika menjalankan aktivitas kewirausahaan.
Hal lain yang membedakan adalah mereka lebih mungkin untuk memanfaatkan web sebagai sarana berbisnis dan memiliki kesadaran yang lebih tinggi mengenai pentingnya perlindungan paten, merek dagang, hak cipta dan hak kepemilikan desain intelektual.
Studi tersebut juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan dengan wirausaha yang bukan hasil didikan kampus, dalam hal jumlah karyawan yang dipekerjakan dan lokasi bisnis yang dipilih.
Bagaimana kondisi di Indonesia? Secara umum karakter wirausaha lulusan perguruan tinggi di beberapa negara tidak berbeda secara signifikan, yaitu mereka lebih melek teknologi, semangat tinggi untuk berkreasi dan inovasi serta berinisiatif mengaplikasikan konsep manajemen modern.
Hanya saja kurikulum mayoritas sekolah bisnis yang merupakan “pabrik” wirausaha lebih menekankan sisi administrasi praktis seperti teknik pengelolaan keuangan, pemasaran, penjualan, akuntansi dan sebagainya ketimbang membangun karakter wirausaha yang sesungguhnya.
Memang tak ada yang buruk dengan pengajaran hal-hal teknis dalam pengelolaan bisnis. Hal tersebut tetap diperlukan tanpa melupakan aspek soft skill wirausaha.
Informasi yang tak utuh mengenai prospek kewirausahaan mengakibatkan profesi wirausaha tidak menjadi opsi utama dari para lulusan, yang mungkin lebih tertarik berkarir sebagai profesional yang digaji.
Ketika mereka mencoba untuk memulai usaha, jejaring yang mereka punya tidak memadai. Mereka tak siap menjalankan aktivitas bisnis.