Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andrean Rifaldo
Praktisi Perpajakan

Praktisi perpajakan. Tulisan yang disampaikan merupakan pendapat pribadi dan bukan merupakan cerminan instansi.

Dapatkah Kita Menopang Perekonomian Bebas Pajak?

Kompas.com - 02/05/2023, 14:42 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Yurisdiksi surga pajak (tax haven), kendati makna yang tersirat dari namanya, tidak benar-benar bebas sepenuhnya dari perpajakan.

Sejumlah tax haven seperti Uni Emirat Arab, Monako, dan Qatar memang tidak mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima orang pribadi, namun tetap mempertahankan jenis atau skema pajak lainnya, seperti pajak penghasilan badan dan pajak penjualan.

Lebih lanjut lagi, Swiss yang kerap diakui sebagai pelopor tax haven bahkan tetap memberlakukan pajak atas penghasilan orang pribadi dan serangkaian jenis pajak lainnya, hanya saja dengan tarif yang relatif rendah.

Sejatinya, tidak ada satupun negara yang sungguh-sungguh bebas dari perpajakan sebagaimana turut dilaporkan dalam Basis Data Statistik Pendapatan Global (Global Revenue Statistics Database) OECD.

Pajak masih menjadi cara yang paling praktis untuk mendanai anggaran publik sebagaimana dituturkan dalam artikel terbitan IMF 2001.

Hanya saja, sejumlah negara memberlakukan tarif pajak rendah dan rezim pajak khusus yang membuatnya tampak sebagai surga pajak guna mendorong daya tarik bagi arus investasi asing.

Menghilangkan pajak menumbuhkan kesenjangan

Di sisi lain, ketimpangan juga masih menjadi isu serius dalam perekonomian kita yang 46,6 persen kekayaannya terpusat hanya pada 1 persen penduduk di lapisan teratas sebagaimana ditemukan oleh firma internasional Credit Suisse.

Pemberlakuan pajak progresif, seperti pajak penghasilan dengan tarif berjenjang dan pajak atas penjualan barang mewah, memungkinkan pemerintah untuk mentransfer kekayaan tersebut dengan memungut pajak yang lebih besar dari masyarakat lapisan teratas.

Selanjutnya mendanai pemenuhan kebutuhan seluruh lapisan masyarakat, khususnya bagi 26,36 juta penduduk di bawah garis kemiskinan yang dihadang keterbatasan sumber daya dalam memperoleh standar kehidupan yang layak terlebih lagi memperbaiki kondisi perekonomiannya.

Selain itu, dana perpajakan telah memungkinkan setiap anak untuk memperoleh fasilitas pendidikan dan akses kesehatan yang berkualitas tanpa dibatasi latar belakang sosioekonomi rumah tangga di mana ia terlahir dan tumbuh.

Ini begitu penting dalam menciptakan peluang bagi setiap keluarga untuk meningkatkan standar kehidupannya pada masa mendatang, sebagaimana turut diutarakan dalam kertas kerja yang dipublikasikan IMF 2022.

Pada APBN 2021, dana yang dikumpulkan wajib pajak telah dialokasikan untuk perlindungan sosial, pendidikan, dan kesehatan sebesar 13,4 persen, 9,3 persen, dan 3,6 persen secara berturut-turut.

Menghapus perpajakan akan sama artinya dengan menghapus segala kesempatan tersebut yang membuat masyarakat pada lapisan bawah perekonomian semakin termarginalisasi.

Ini justru akan lebih memberikan manfaat bagi korporasi dan rumah tangga berpenghasilan tinggi yang tidak lagi dikenakan pajak sehingga akan semakin memperbesar tingkat kesenjangan.

Oleh karena itu, perpajakan pada hakikatnya merupakan kunci bagaimana kita bisa menyelesaikan masalah kemiskinan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com