Untuk melaksanakan arahan tersebut, kemudian dimulai proses penataan ulang bandara internasional di Indonesia dengan mempertimbangkan perjanjian ASEAN Open Sky, lalu lintas perjalanan penumpang dan kargo luar negeri, serta pemerataan di Indonesia barat dan timur.
Dr. Hisar memaparkan bahwa memang dari 34 bandara internasional eksisting, ada 27 bandara yang sebenarnya perlu dipertimbangkan, apakah masih perlu menyandang sebagai bandara internasional atau cukup menjadi bandara domestik saja. Artinya hanya 7 bandara yang layak dipertahankan.
Ia telah mengevaluasi bandara-bandara tersebut berdasarkan 5 kriteria, yaitu konektivitas penerbangan; aksesibilitas bandara; fasilitas bandara; potensi wilayah; serta pertahanan dan keamanan.
Hasilnya, bandara yang layak dipertahankan menjadi bandara internasional hanya Bandara Kualanamu Deliserdang, Bandara Hang Nadim Batam, Bandara Soekarno-Hatta Tangerang, Bandara Internasional Jawa Barat Kertajati, Bandara Ngurah Rai Bali, Bandara Sultan Hasanuddin Makassar, dan Bandara Sam Ratulangi Manado.
Jika melihat asal penumpang internasional ke Indonesia, dapat dirinci berasal tiga arah, yaitu dari arah Barat terdiri dari penumpang Eropa, Timur Tengah, USA, India dan sebagian ASEAN.
Arah selatan dari Australia dan Selandia Baru. Serta arah utara dari Jepang, China, Korea, Taiwan, Hongkong, Macau, Kanada dan sebagian USA dan ASEAN. Arah timur hampir tidak ada.
Dengan keberadaan bandara KLIA Malaysia dan Changi Singapura yang secara geografis berada sangat dekat, bahkan menempel di wilayah Indonesia barat, bisa dimaklumi jika banyak penumpang internasional yang transit di dua bandara tersebut sebelum ke Indonesia.
Hal ini juga karena berbagai layanan dari sisi amenitas, atraksi dan aksesibilitas yang lebih baik dibanding bandara-bandara internasional di Indonesia.
Sayangnya, adanya ketergantungan pada Malaysia dan Singapura, ternyata berpengaruh pada kondisi penerbangan internasional Indonesia, terutama di wilayah timur.
Semua bandara internasional di wilayah timur Indonesia seperti Bandara Pattimura Ambon, Frans Kaisiepo Biak, Mopah Merauke, serta Sentani Jayapura sampai saat ini tidak ada penerbangan internasional.
Jarak dari Singapura atau Kuala Lumpur ke Indonesia Timur sangat jauh dan waktu tempuhnya lama. Jika dari Jakarta ke Jayapura saja sudah 6-8 jam, tentu dari Singapura waktu perjalanannya bisa mencapai 8-10 jam.
Turis asing yang mau ke Papua atau Ambon, biasanya transit dulu di Jakarta, Makassar atau Denpasar Bali. Diperlukan keinginan dan kebutuhan yang kuat dari turis untuk berkunjung ke Maluku, Ternate, atau Papua.
Alhasil, pariwisata di Indonesia timur yang terkenal sangat indah pun sampai saat ini tidak bisa berkembang karena akses transportasi internasional terbatas, bahkan hampir tidak ada.
Jika kita ingin menata ulang bandara dan akses internasional, sudah seharusnya hal ini menjadi perhatian.
Akses penerbangan internasional harus Indonesia sentris, bukan hanya Indonesia barat dan tengah saja.