Oleh: Alifia Putri Yudanti dan Brigitta Valencia Bellion
KOMPAS.com - Menjadi orang pintar nan cerdas bisa membawa banyak keberuntungan bagi kita. Tapi, ternyata dalam dunia kerja, merasa menjadi orang paling pintar merupakan salah satu sikap yang dihindari oleh leaders.
Kara Goldin, Founder Hint, bahkan mengungkapkan selama bertahun-tahun terjun dalam proses rekrutmen, banyak kandidat yang berusaha menunjukkan sisi “pintar”-nya. Namun, hal itu justru membuatnya terlalu kompetitif sehingga merasa lebih hebat dari semua orang.
Tak hanya itu, Juventia Vicky, President Hacktiv8 Indonesia, dalam siniar Obsesif episode “Be The Clearest, Not The Smartest” dengan tautan dik.si/ObsesifVicky, juga mengungkapkan kandidat yang baik adalah bukan yang terpintar tapi mampu berkomunikasi dengan jelas.
Dalam lingkungan kerja yang kompetitif, beberapa kandidat dan pekerja kerap kali mencoba membuktikan diri dengan menunjukkan kemampuan yang dimiliki. Sayangnya, kesempatan itu sering digunakan untuk ‘pamer’ sehingga ada tendensi untuk merasa paling pintar.
Memiliki kemampuan yang mumpuni tentu sangat dibutuhkan dalam menyelesaikan pekerjaan. Namun, jika tak dikelola dengan tepat, hal ini bisa menimbulkan perasaan sombong sehingga merasa kita yang paling ‘sempurna’ dan ‘hebat’ dibandingkan rekan kerja lainnya.
Baca juga: Ekosistem Digital, Solusi Tepat untuk Efisiensi Bisnis
Tentu saja, sikap ini sangat berlawanan dengan prinsip yang harus diaplikasikan dalam dunia kerja, yaitu mampu menghargai orang lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan perusahaan.
Merasa paling pintar bisa membuat kita jadi tak toleran dengan pendapat rekan kerja. Alhasil, kita jadi memaksakan ide-ide yang dipunya untuk segera diaplikasikan, padahal belum tentu semua itu relevan dengan kondisi yang sedang dihadapi.
Kita juga enggan menerima kritik karena menganggap rekan kerja lainnya belum memiliki pengalaman sepadan. Sementara, sikap rendah hati dan mampu mendengarkan opini satu sama lain adalah kunci keberhasilan pekerjaan.
Dari proses itu pula, kita bisa belajar hal-hal baru yang bisa membuat diri berkembang.
Sebagai karyawan biasa, kita tak boleh bersikap merasa paling pintar. Meskipun memiliki tujuan lain, seperti ingin cepat mendapat promosi, namun sikap toleransi tetap harus dijunjung tinggi. Merasa paling pintar bisa membuat kita jadi pemimpin yang arogan.
Faktanya, penelitian dari Universitas Toronto menunjukkan bekerja untuk pemimpin yang arogan memiliki efek negatif pada kinerja, penurunan harga diri karyawan, dan moral anggota tim.
Selain itu, penelitian DDI, menunjukkan ada 57 persen orang keluar dari perusahaan karena atasan mereka bersikap arogan.
Menurut Forbes, ada beberapa cara yang bisa kita lakukan untuk mengurangi sifat merasa paling “pintar”. Pertama, hormati opini orang lain. Meski kita juga memiliki ide yang menarik, kita juga harus mendengarkan orang lain mengungkapkan ide-ide mereka.
Dengan menghormati opini orang lain, kita bisa menggabungkan ide-ide tersebut untuk menciptakan hasil pekerjaan yang lebih maksimal.
Kedua, yaitu mendengarkan dan mengedepankan empati. Hal ini bisa dilakukan dengan mengurangi interupsi saat orang lain sedang menjelaskan opininya. Setelah itu, cobalah untuk memahaminya dan temukan hal-hal baru yang dapat kita pelajari.
Ketiga buka forum diskusi dan jangan malu bertanya. Alih-alih mencari validasi, lebih baik kita meminta pendapat dari orang lain terhadap ide yang kita buat. Pasalnya, sering kali kita tak menyadari adanya celah dalam pekerjaan.
Baca juga: Menjadi Pemimpin Inklusif, Seperti Apa?
Bertanya kepada orang lain bisa membantu untuk menutupi celah-celah yang tak terlihat itu.
Keempat miliki sikap tak pernah merasa puas. Saat kita puas dengan kemampuan, kita jadi enggan belajar hal-hal baru. Hal ini pun mendorong sikap arogan untuk tumbuh dalam diri.
Padahal, dunia semakin berdinamika dan ada banyak hal-hal baru yang harus dipelajari agar kita jadi relevan. Kemampuan bertahan hidup dengan mengedepankan sifat adaptif mampu memberikan pengaruh terhadap kualitas diri di masa depan.
Kelima, yaitu bekerja sama. Dengan kerja sama, kita mampu memahami bagaimana kekuatan kolaborasi mampu menghasilkan hasil yang maksimal.
Dalam kerja sama, ada proses diskusi yang intens sehingga tanpa disadari kita jadi belajar banyak hal baru karena mau tidak mau harus menurunkan ego.
Lantas, bagaimana cara Vicky membantu rekan kerjanya berproses agar tidak merasa paling “pintar”? Temukan jawaban lengkapnya dalam episode “Be The Clearest, Not The Smartest” dengan tautan dik.si/ObsesifVicky.
Dengarkan pula episode lainnya yang tak kalah menarik dan menginspirasi dalam siniar Obsesif di Spotify, Noice, dan juga TipTip (khusus konten LED Talk) melalui tautan berikut tiptip.co/p/ObsesifLEDTalk.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.