JAKARTA, KOMPAS.com – Tidak sedikit orang menilai bahwa takaran kesuksesan itu adalah seberapa banyak jumlah uang dan aset yang dimiliki. Namun hal itu bertentangan dengan prinsip Bos DCI Indonesia, sekaligus orang terkaya di urutan ke-23 di RI, Otto Toto Sugiri.
Pria kelahiran 1953 itu mengatakan, sukses itu bergantung pada tujuan hidup yang sudah pasti mencari ketenangan jiwa. Ketengangan jiwa yang dimaksud Toto seperti mencukupi kebutuhan sandang, pangan, dan papan.
Menariknya, pola pikir tersebut muncul karena buku. Ya, Toto punya buku "sakti" dalam hidupnya dan ia belajar banyak dari buku tersebut.
“Dulu saya membayangkan, kalau sudah tua nanti tidak kerja, tidak cari uang lagi, hidup akan seperti apa? Jadi manusia itu, hanya punya dua pilihan dalam hidupnya, seperti yang tertulis di buku To Have or to Be karya Erich Fromm,” kata Toto saat ditemui Kompas.com, di kantornya, Rabu (5/7/2023).
Baca juga: Kisah Sukses Toto Sugiri, Orang Terkaya Ke-23 di RI yang Sempat Jadi Sopir Taksi
Ia juga mengatakan bahwa dirinya banyak belajar dari buku berbahasa Jerman itu. Buku tua yang sering digunakan oleh mahasiswa psikologi ini menjadi pegangan bagi dirinya, ketika banyak orang terjebak pada keserakahan dunia.
“Dari situ saya belajar secara historical, manusia itu hidup punya dua pilihan, dan sebagian besar orientasinya terjebak ingin memiliki, dengan pemikiran itu seolah-olah dia mendapatkan kebahagiaan,” kata pendiri perusahaan Internet Service Privider (ISP) PT Indonet itu.
“Sebagaian besar manusia orientasinya ke sana. Bahasa juga mengarah ke sana. Seperti, ketika mengatakan ‘saya memiliki 3 anak dari 1 istri’, I have three children, yang mana itu attitude-nya adalah to have. Tapi, jika dia attitude-nya to be, maka ia mengatakan ‘saya menjadi ayah dari 3 orang anak’. Itu perbedaannya besar, karena ketika memiliki tiga anak, kamu menjadi bapaknya tidak?,” tambahnya.
Baca juga: Kisah Sukses Toto Sugiri, Orang Terkaya Ke-23 di RI yang Sempat Jadi Sopir Taksi
Hal ini juga tidak berbeda dengan pernikahan. Mantan mahasiswa Teknologi Informatika Jerman itu menyebut, pasangan yang memiliki attitude To Have tidak menjamin adanya perlakuan yang baik antar keduanya.
Berbeda halnya jika attitude yang dimiliki adalah To Be, maka pernikahan itu seperti partnership.
“Pemikiran (ego) ‘kepemilikan’ itu sangat buruk kalau terjerumus ke sana. Seolah-olah bahagia dengan memiliki satu materi, tapi tidak, dia tidak akan mencapai itu,” kata pria berusia 69 tahun itu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.