Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanuddin Wahid
Sekjen PKB

Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Anggota Komisi X DPR-RI.

Ambiguitas Uni Eropa di Antara Sawit dan Nikel

Kompas.com - 20/07/2023, 08:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Pada saat yang sama, UE akan melanjutkan upaya untuk mencapai solusi yang disepakati bersama atas sengketa bijih nikel, termasuk terus mengajak Indonesia untuk bergabung dalam Multi-Party Interim Appeal Arrangement (MPIA).

Sebelumnya permintaan konsultasi delegasi UE kepada delegasi Indonesia, disampaikan kepada Dispute Settlement Body (DSU) sesuai dengan Pasal 4.4 DSU.

UE mengklaim bahwa larangan ekspor nikel Indonesia, tidak sesuai dengan Pasal XI:1 General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994.

Komplain dan tuduhan UE atas kebijakan Indonesia melarang ekspor bijih nikel mengisyaratkan betapa UE sedang kelimpungan dalam mempertahankan sektor industri, terutama industri yang memproduksi baja tahan karat dan produksi bateri kendaraan listrik modern.

Apalagi pada saat bersamaan, China juga gencar mengembangkan pabrik untuk memproduksi baterai kendaraan bermotor.

UE bahkan semakin gerah ketika media memberitakan bahwa Indonesia ternyata ‘gagal’ mencegah beberapa kali ekspor ilegal bijih nikel ke China.

Memang ekspor ilegal tersebut menyebabkan kerugian di pihak Indonesia sekitar 48 juta dollar AS pada 2021. Sedangkan pada 2022, kerugian ekspor ilegal bijih nikel diperkirakan 54,6 juta dollar AS.

Namun, UE menduga, hal itu sebagai ‘permainan Indonesia’ untuk menenggelamkan pabrik baja tahan karat dan baterai kendaraan motor di UE.

Indonesia perlu tetap konsisten

Faktanya UE telah melakukan pengaduan ke WTO terhadap pembatasan ekspor nikel dan bahan baku lainnya yang dilakukan Indonesia.

Namun, berhadapan dengan aksi UE tersebut, Indonesia tak boleh menyerah dan perlu tetap bersikap konsisten.

Sebab kebijakan pelarangan ekspor nikel memiliki tujuan yang paling transformatif, yaitu memberi nilai tambah dan konservasi sumber daya, yang mengacu pada visi jangka panjang pembangunan Indonesia berkelanjutan.

Ketergantungan UE pada pasokan bijih nikel dari Indonesia dapat menjadi ‘senjata pamungkas’ untuk mengajukan gugatan balasan ke WTO guna melawan kesewenangan UE memberlakukan pengenaan tarif UE atas bahan bakar nabati berbasis minyak sawit Indonesia.

Apalagi kesewenangan itu dilakukan atas tuduhan sepihak bahwa Indonesia melakukan deforestasi untuk memperluas perkebunan sawit.

Artinya, apabila UE ingin mendapatkan akses ke pasokan bijih nikel dari Indonesia, dia pun harus bersikap lunak, dan mencabut kembali tarif tinggi atas minyak sawit Indonesia.

UE hendaknya percaya bahwa walau mengembangkan produksi minyak sawit, Indonesia juga memiliki kebijakan dan program kongkret untuk mencegah deforestasi dan kebakaran hutan.

Dengan kata lain, UE perlu berubah dan tidak perlu lagi menjadi ‘pendikte’ kebijakan dan arah pembangunan ekonomi Indonesia.

Sebab Indonesia berdaulat yang ingin bertumbuh menjadi negara kuat dan mandiri secara ekonomi, sejajar dengan negara-negara maju, termasuk dengan UE sendiri.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com