Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mata Garuda Banten
Perkumpulan Alumni Beasiswa LPDP di Provinsi Banten

Perkumpulan alumni dan awardee beasiswa LPDP di Provinsi Banten. Kolaborasi cerdas menuju Indonesia emas 2045.

Kamu Sudah Merdeka atau Masih Dijajah Finansial?

Kompas.com - 13/08/2023, 08:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Kahfiya Hasbi*

KOK judul tulisan ini sepertinya nyinyir? Bagi yang tidak merasa begitu sih, Alhamdulillah.

Kebetulan saya berasal dari kelompok Gen Y atau Gen Millenial Indonesia, yang (katanya) kondisi keuangannya 44,6 persen masih biasa saja dan 33,1 persen dianggap buruk, versi Katadata tahun 2021.

Di kelompok ini, sumber keuangan masih sebagian besar dari gaji bulanan. Bukannya tidak berpikir untuk mendapatkan sumber penghasilan lain-lain, tapi sebagian besar kelompok umur ini lebih suka berandai-andai daripada mengeksekusi.

Venturing di dunia “seandainya saya punya waktu, tenaga, atau modal untuk buka usaha”, sepertinya lebih menyenangkan daripada gas pol langsung buka bisnis atau mencari penghasilan pasif.

Namun ini semua bukan tentang saya, ini kan tentang kamu yang baca tulisan ini. Semoga kamu bertahan membaca tulisan ini sampai titik full stop terakhir.

Menurut hasil riset OCBC featuring NielsenIQ baru-baru ini, literasi keuangan Gen Y dan Gen Z cukup minim.

Hanya sembilan persen kaum ini yang telah melakukan investasi terstruktur, misalnya membeli produk-produk reksa dana, saham, dan deposito.

Ketimbang melakukan investasi, kaum ini justru memarjinalisasi diri sendiri dengan “menghabiskan uang untuk mengikuti gaya hidup teman”. Ini bukan kata saya loh ya, ini kata riset OCBC, mudah-mudahan kamu tidak termasuk salah satunya.

Yah, tidak heran sih, coba buka saja akun media sosial kamu dan cek status atau story orang-orang yang kamu follow. (Mungkin) isinya banyak yang memperlihatkan betapa indahnya dunia maya milik mereka (dan milik saya, kalau kamu mem-follow saya).

Media sosial sebagai tempat membagi kehidupan sosial, selain ada yang berisi curhat-curhatan, ada juga berisi pamer-pameran.

Nah, sekian persen yang melihat si pamer ini, mulai panas hatinya, mulai tumbuh iri dengkinya pun berkata dalam hati “Ah segini aja, gue juga bisa”, kemudian besoknya dia langsung membeli Ferrari. Ini ilustrasi loh ya, hanya ilustrasi (tapi bisa saja ini nyata).

Bagi yang kurang beruntung, tapi punya juga sisi hatinya yang panas ingin melebihi temannya (walau tidak mengaku), mungkin tidak membeli mobil, tapi berswafoto dengan berbagai pose bersama mobil direksi seri terbaru yang terparkir di parkiran direksi.

Intinya, ketika melihat gaya hidup temannya meningkat, entah itu barang mewah baru, atau itu prestasi baru seperti promosi di kantor, muncul rasa ingin menyaingi.

Memang tidak semua begitu, tapi riset (bukan kata saya) ternyata menunjukkan hasil yang demikian. Apakah hal ini jelek?

Yah, di satu sisi muncul rasa kompetitif di dalam diri, yang ketika diarahkan untuk hal yang baik, seharusnya bisa menjadi motivasi bagi diri sendiri.

Namun rasa kompetitif yang diawali dengan emosi negatif memiliki kecenderungan menjerumuskan manusia ke jurang kenistaan. Dalam konteks ini menjadi konsumtif, tanpa atau dengan dia sadari.

Lantas, memangnya konsumtif salah ya? Bukannya tanpa adanya konsumsi, ekonomi tidak berjalan? Lihatnya jangan dari sisi mikro dong, Bang. Lihat sisi makro juga, ada kebaikan untuk GDP Indonesia kan?

Mungkin sebagian kamu berpikir seperti di atas. Saya setuju. Sebagai contoh, perilaku saya yang jika ada uang langsung buru-buru mencari tiket pesawat, mengambil cuti, demi self-rewards.

Nah, di situ saya mungkin memperkaya Traveloka, secara tidak langsung pegawai Traveloka digaji oleh perilaku saya dan orang-orang semacam saya.

Di perjalanan traveling, saya juga memesan hotel, pegawai hotel juga akhirnya bisa digaji. Ketika saya kuliner, restoran-restoran juga menjadi laku. Dan seterusnya, lanjutkan sendiri saja contoh-contoh lainnya.

Self-rewards sih tidak salah ya, yang salah apabila membahayakan keuangan pribadi. Saya membeli tiket pesawat memakai paylater-nya tidak salah, tetapi apa saya membayar full atau dengan kredit, sesuai kemampuan saya atau tidak?

Behaviour saya membeli tiket pesawat tersebut impulsif atau tidak?

Saya dengan kesadaran sendiri menyisihkan dana darurat sebesar 12 kali pengeluaran bulanan (sebagaimana direkomendasikan oleh para influencer keuangan), menyisihkan biaya hidup, memakai hanya maksimal 30 persen penghasilan untuk liabilities seperti KPR, pinjol, main slot, kartu kredit, dan utang lainnya, atau tidak?

Atau anggaplah saya seboros-borosnya manusia, apakah saya punya income stream yang cukup banyak sehingga seberapapun uang yang saya habiskan, saya masih punya cadangan devisa pribadi di berbagai instrumen keuangan atau diversifikasi di berbagai bisnis cashcow?

Financial Behaviour adalah Koentji!

Ini murni pendapat pribadi sih. Bahwa kalau Financial Behaviour kamu masih ngaco, maka bersiaplah masuk ke dalam golongan kaum marjinal atau kaum inlander.

Kalau di zaman penjajahan dulu yang menjajah adalah orang Belanda, maka pada masa kini kamu dijajah oleh dirimu sendiri. Waspadalah, waspadalah!

*TMI Ventures, Awardee LPDP

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com