Bicara kontribusi industri manufaktur, contoh menarik adalah India. Tidak ada yang mengatakan bahwa india bukan negara industri karena beragam produk dan merek ternama berasal dari negara ini.
Namun, kontribusi industri manufaktur terhadap perekonomian India lebih rendah dari Indonesia (13,3 persen). Perbedaannya adalah di karakteristik industri manufaktur India yang lebih padat teknologi dari Indonesia.
Sebanyak 44,6 persen industri di India merupakan industri teknologi menengah-tinggi, sementara Indonesia hanya 35 persen—lagi-lagi lebih rendah dari negara sebaya di Asia Tenggara.
Pemerintah sewajarnya tidak perlu berlebihan mendengar kritik deindustrialisasi. Memang, kata deindustrialisasi menjadi istilah populis di ranah kebijakan.
Tidak hanya di Indonesia, istilah deindustrialisasi populer kembali sejak krisis finansial pada 2008 yang berlanjut dengan perang dagang pada 2018 sebagai kritik atas globalisasi yang minim penciptaan lapangan pekerjaan di negara maju.
Lalu, pasca-Covid-19, basis produksi yang tersentralistik di China mulai ditarik kembali ke negara maju (reshoring) atau setidaknya berdekatan (nearshoring). Terlebih lagi, dengan adanya konflik Rusia dan Ukraina, kebijakan proteksionisme industri oleh negara maju semakin intens.
Baca juga: Tren Konversi Mobil Klasik Jadi Listrik Mandek karena Merek China
Pemerintah perlu menjawab kritik deindustrialisasi dengan upaya industrialisasi dan reindustrialisasi.
Industrialisasi seringkali diterjemahkan melalui program hilirisasi. Tentunya hal tersebut tidak sepenuhnya salah, tetapi tidak sepenuhnya tepat juga.
Seperti industrialisasi, program hilirisasi mengubah komoditas alam yang kita miliki menjadi produk hilir melalui proses produksi di sektor industri.
Meski tidak sampai produk akhir, sebagai contoh, kebergantungan sektor pertambangan bijih logam kini perlahan berubah menjadi subsektor industri logam dasar.
Namun, berbeda dengan negara lain, program hilirisasi Indonesia bertumpu pada penghentian ekspor bahan baku sehingga harga bahan baku untuk pengolahan domestik lebih murah dibandingkan dengan harga internasional.
Baca juga: IMF Bujuk RI Cabut Larangan Ekspor Nikel, Luhut: Ngapain Kami Tolong Negara Maju
Harga bahan baku yang nyaris setengah dari harga internasional menjadi insentif yang signifikan bagi investor untuk mau berinvestasi di sektor industri manufaktur. Inilah biaya yang harus ditanggung oleh pelaku sektor pertambangan dan tentunya juga negara.
Persoalan kemudian hadir ketika berbicara mengenai biaya yang dikorbankan untuk program hilirisasi ini tidak diakomodir oleh proses industrialisasi di hilir.
Industrialisasi yang harusnya memberikan manfaat mulai dari peningkatan penyerapan tenaga kerja hingga kesejahteraan masyarakat minim didapatkan dari program ini. Justru, yang saat ini terjadi di Sulawesi dan Maluku bertolak belakang dengan manfaat industrialisasi dan bahkan turut serta menciptakan kemiskinan multidimensi.
Baca juga: Sri Mulyani Tolak Rekomendasi IMF soal Pencabutan Larangan Ekspor Nikel
Dominasi tenaga kerja asing dan minimnya partisipasi perusahaan domestik sebagai mitra lokal investasi turut berkontribusi terhadap rendahnya transfer teknologi dan pengetahuan. Belum lagi hilangnya jenis pekerjaan tradisional seperti petani dan nelayan yang kini terjadi di daerah hilirisasi.