Saat malam, lanjutnya, pasokan listrik pun harus dialihkan dari jaringan utama milik PLN. Kini kelebihan listrik produksi dari PLTS off-grid miliknya pada siang hari dapat disimpan dalam baterai dan dimanfaatkan Yohanes sendiri pada waktu malam hari.
Setelah sepuluh tahun menjadi pengguna PLTS atap, Yohanes telah menginvestasikan uangnya sekitar Rp 200 juta untuk seluruh instalasi yang dipasang.
Dia mengklaim sudah balik modal di tahun kedelapan sebagai pengguna PLTS. Menurut Yohanes, efisiensi dari pengeluaran biaya tagihan listrik PLN selama delapan tahun itu sudah setara dengan nilai investasi yang dikeluarkan untuk membangun PLTS atapnya.
"Kini saya tinggal menuai keuntungan," kata Yohanes sambil membersihkan panel-panel suryanya yang umur pemakaiannya masih bisa sekitar sepuluh tahun lagi.
Sementara itu, seorang pengguna PLTS atap off-grid dari Duren Sawit, Jakarta Timur, Riky, memulainya dengan semangat untuk dapat berkontribusi menciptakan lingkungan yang lebih baik.
Dia mulai mengganti kendaraan bermotornya yang berbahan bakar minyak menjadi kendaraan listrik yang lebih ramah lingkungan.
Merasa itu belum cukup, sejak 2017 dia pun juga memulai menjadikan PLTS atap sebagai sumber energi listrik di rumahnya.
Setelah lima tahun menjadi pengguna PLTS atap, harapannya itu mulai membuahkan hasil. Beberapa tetangga rumahnya pun mulai mengikuti langkahnya.
Oleh karena itu, Hafiz melalui komunitas I Love Energi Surya, terus berupaya mengampanyekan pemanfaatan energi matahari, terutama kepada para generasi muda.
Namun, apa yang diupayakan Hafiz maupun para penggiat energi surya lainnya tidak akan maksimal bila berjalan sendiri tanpa dukungan pemerintah.
"Hal yang terpenting sebenarnya adalah kebijakan pemerintah yang lebih pro terhadap energi terbarukan dan ramah lingkungan," kata Hafiz.
Dia mencontohkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap yang saat ini tengah direvisi pemerintah.