Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Gatot Rahardjo
Pengamat Penerbangan

Pengamat penerbangan dan Analis independen bisnis penerbangan nasional

Kebangkitan Semu Industri Penerbangan Indonesia

Kompas.com - 04/10/2023, 05:56 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

INDUSTRI penerbangan global, termasuk di Indonesia pernah sangat rontok diterjang pandemi Covid-19 antara 2020-2022. Jumlah penumpang turun tajam hingga tinggal 40 persen dibanding 2019 atau sebelum pandemi.

Begitu pula jumlah pesawat dan jumlah pegawai maskapai serta bandara dan groundhandling juga berkurang sangat signifikan karena dirumahkan atau bahkan dikeluarkan.

Tidak ada aktivitas ekonomi yang menguntungkan, bahkan merugikan selama lebih dua tahun. Wajar kalau perusahaan mengurangi jumlah tenaga kerja dan alat produksinya.

Saat ini, setelah pemerintah resmi menyatakan pandemi Covid-19 berakhir dan orang bebas berkegiatan dan berkumpul lagi, industri penerbangan dikatakan kembali bangkit.

Bangkitnya industri ini dinyatakan dengan semakin meningkatnya jumlah penumpang pesawat yang hampir mendekati jumlah penumpang sebelum pandemi.

Data dari Kementerian Perhubungan, recovery rate jumlah penumpang pesawat domestik pada semester pertama 2023 dibanding 2019 sudah mencapai lebih dari 80 persen. Sedangkan penumpang internasional, recovery rate lebih dari 70 persen.

Pada 2024 mendatang, diperkirakan jumlah penumpang sudah lebih dari jumlah penumpang sebelum pandemi.

Namun benarkah dengan jumlah penumpang yang terus bertambah berarti industri penerbangan nasional terutama penerbangan berjadwal sudah bangkit kembali?

Pengulangan sejarah

Memakai indikator jumlah penumpang untuk menyatakan bangkitnya atau sehat dan tidaknya industri penerbangan, seperti mengulang sejarah.

Sejak dibuka liberalisasi pendirian maskapai penerbangan pada 2000 sampai 2018, jumlah penumpang terus meningkat.

Jika sebelum 2000 jumlah penumpang domestik dan internasional hanya 30 juta, pada 2018 jumlahnya meningkat menjadi 138 juta.

Jumlah maskapai juga meningkat. Pada periode 2000-2018, jumlah maskapai berjadwal penumpang dan kargo mencapai 27 perusahaan. Namun tidak semuanya sehat sehingga pada akhir 2018, jumlahnya tinggal 15 maskapai.

Pada 2018, hampir semua keuangan maskapai morat-marit. Sehingga untuk menyelamatkan perusahaan, mereka menaikkan harga tiket. Akibatnya jumlah penumpang turun, namun maskapai bisa bernapas lega kembali.

Sayangnya, pemerintah mengintervensi, meminta maskapai menurunkan harga tiket sehingga jumlah penumpang naik, tanpa memperhitungkan kondisi maskapai tersebut.

Industri penerbangan sebagai industri jasa, berbeda dengan industri lain terutama industri nonjasa.

Sehingga kalau hanya menggunakan indikator jumlah penumpang atau jumlah produksi yang terbeli oleh masyarakat, seperti halnya retail, sebagai indikator sehat dan tidaknya industri ini bisa tidak tepat.

Ada beberapa contoh yang membedakan industri penerbangan dengan industri lainnya.
Misalnya, terkait harga jual produk.

Di industri lain, harga jual produk ditentukan setelah proses produksi selesai dan biaya-biaya bisa dihitung. Bisa juga harga diperhitungkan di depan, dengan asumsi proses produksi yang stabil. Dengan demikian, harga jualnya juga relatif sama untuk satu produk.

Penerbangan berbeda, karena harga jual produknya semua ditentukan berdasarkan estimasi. Penumpang membayar produk yang belum ada dan diperolehnya. Setelah membayar, baru produknya dibuat dan penumpang dapat menikmati.

Produsen atau maskapai tidak bisa meminta bayaran lebih pada penumpang jika ternyata biaya produksinya lebih besar dari harga yang dibayar penumpang.

Biaya berlebih bisa terjadi, misalnya, terjadi antrean yang panjang di bandara saat akan take off atau landing. Atau ada kondisi tertentu seperti cuaca buruk, kecelakaan, dan lainnya sehingga pesawat tidak bisa landing di bandara tujuan dan harus mendarat di bandara alternatif atau balik ke bandara awal.

Kejadian ini akan membuat pesawat membakar BBM lebih banyak dan tentu saja biaya lebih besar.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com