Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Gatot Rahardjo
Pengamat Penerbangan

Pengamat penerbangan dan Analis independen bisnis penerbangan nasional

Kebangkitan Semu Industri Penerbangan Indonesia

Kompas.com - 04/10/2023, 05:56 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dalam kondisi normal, biaya yang dikeluarkan pesawat untuk take off dan landing lebih besar dibanding saat terbang mendatar atau cruising.

Semakin pendek jarak tempuh, semakin besar perbandingannya. Jadi tidak heran kalau penerbangan jarak pendek justru biaya per kilometer lebih mahal dibanding jarak jauh. Hal ini berbeda dengan moda transportasi lain di mana biaya per kilometer sama dari awal sampai akhir.

Maskapai juga tidak mungkin menjual semua tiket di titik TBA karena penumpang pasti akan merasa tiket menjadi sangat mahal.

Jika harus menjual di bawah TBA, agar tetap bisa untung tentu jumlah penumpang harus lebih dari 65 persen untuk jet atau lebih dari 70 persen untuk propeller.

Selain itu juga sering muncul biaya-biaya tidak terduga. Misalnya, jika ada antrean di runway bandara saat pesawat take off atau landing, maka biaya akan membengkak. Padahal perhitungan tarif dari pemerintah hanya berdasarkan jarak, bukan waktu tempuh.

Dalam kondisi biasa, jarak 1000 km mungkin bisa ditempuh dalam 1 jam. Namun jika ada antrean di bandara, lama perjalanan bisa mencapai 1,5 jam.

Tentu saja biaya-biaya akan membengkak, terutama biaya BBM. Maskapai harus menanggungnya, walau itu bukan kesalahan mereka.

Masih banyak biaya tak terduga lainnya. Seperti proses pengadaan suku cadang pesawat yang semuanya dari impor dan memerlukan proses lama serta biaya besar. Biaya-biaya tersebut harus ditanggung maskapai.

Di sisi lain, mereka tidak bisa leluasa mengolah keuangan karena tarif ditetapkan oleh pemerintah.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa jumlah penumpang yang banyak belum tentu akan membuat maskapai sejahtera dan industri berkembang.

Kalau harga jual tiketnya ternyata tidak bisa menutupi biaya operasional, walaupun penumpang penuh, tentu maskapai tetap rugi. Lebih baik penumpang sedikit, tapi harga tiket tinggi, maskapai akan untung.

Hal inilah yang dilakukan maskapai nasional pada 2019 lalu, menaikkan harga tiket dan menutup rute yang rugi. Penumpang berkurang, tapi perusahaan lebih sehat.

Hitung-hitungannya sederhana. Jika harga tiket 100 dan penumpang 100, maka pendapatan hanya 10.000. Namun jika harga tiket 150 dan jumlah penumpang turun jadi 75, pendapatan justru mencapai 11.250.

Jadi sebaiknya jangan terlalu mengandalkan jumlah penumpang untuk menyatakan industri penerbangan kita sehat dan berkembang. Karena industri penerbangan kita berbeda dengan di luar negeri yang minim dari intervensi pemerintah.

Sebaiknya kita bersama-sama berkonsentrasi untuk mengurangi jumlah biaya operasional penerbangan, tanpa mengurangi keselamatan penerbangan. Bukan hanya maskapai, tapi juga pemerintah, bandara, pertamina dan lainnya.

Misalnya, dengan mengurangi biaya avtur, mengurangi kemacetan di bandara, memperbaiki sistem pentarifan, memperbaiki sistem importasi spareparts dan sebagainya.

Pemerintah juga harus jeli memeriksa laporan keuangan yang diberikan maskapai tiap tahun. Laporan keuangan dapat mengindikasikan maskapai sehat atau sakit.

Tidak itu saja, laporan keuangan juga bisa menggambarkan kondisi industrinya, berkembang, stagnan atau justru mundur sehingga bisa dicari jalan pembenahan.

Kalau cuma memakai indikator jumlah penumpang, itu hanya pandangan semu belaka.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com