Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini Alasan BI Akhirnya Kerek Suku Bunga Acuan ke 6 Persen

Kompas.com - 19/10/2023, 17:20 WIB
Rully R. Ramli,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Bank Indonesia (BI) akhirnya memutuskan untuk mengerek suku bunga acuannya ke level 6 persen pada pertemuan Rapat Dewan Gubernur (RDG) periode Oktober 2023.

Keputusan tersebut di luar ekspektasi pasar, sebab dalam berbagai kesempatan sebelumnya pejabat BI mengindikasikan tidak ada kenaikan suku bunga acuan lagi hingga pengujung 2023.

Perubahan arah kebijakan BI itu tidak terlepas dari dinamika global yang begitu pesat, sehingga meningkatkan ketidakpastian global dan memerlukan respons dari kebijakan moneter bank sentral.

"Dinamika global sangat cepat dan very unpredictable. RDG bulan lalu memang kita sampaikan apa-apa yang kita lihat dengan informasi terbaru pada waktu itu," ujar Gubernur BI Perry Warjiyo, dalam konferensi pers hasil RDG, Kamis (19/10/2023).

Baca juga: BI Naikkan Suku Bunga Acuan Jadi 6 Persen

Lebih lanjut Perry menyebutkan, terdapat 5 poin utama yang menjadi bagian dari pesatnya dinamika global, sehingga pada akhirnya BI mengubah arah kebijakan.

Pertama, laju pertumbuhan ekonomi global diproyeksi melambat menjadi 2,9 persen pada 2023 dan semakin menyusut pada tahun berikutnya menjadi 2,8 persen.

Bukan hanya melambat, terdapat juga fenomena divergensi atau perbedaan laju pertumbuhan ekonomi antar negara dunia.

"Ini yang kemungkinan terjadi dalam 2 tahun ke depan, 2024-2025, pertumbuhan ekonomi global akan melambat, divergensi pertumbuhan akan melebar," kata Perry.

Poin kedua ialah eskalasi konflik antara Israel dengan Hamas, yang kemudian berimbas terhadap kenaikan harga minyak global dan harga pangan tetap tinggi.

Baca juga: Rupiah Tertekan, BI Berpotensi Kerek Suku Bunga?

Lalu poin ketiga ialah arah kebijakan suku bunga bank sentral AS, The Federal Reserve, yang diproyeksi tetap tinggi dalam waktu yang relatif lama, atau disebut dengan fenomena higher for longer.

"Apa maksudnya? Memang kami menakar ada probabilitas sekitar 40 persen FFR (Fed Fund Rate) akan naik di Desember," ujar Perry.

Selanjutnya poin keempat ialah tingkat imbal hasil obligasi aset negara maju yang meningkat, seiring dengan tingkat suku bunga acuan bank sentral yang tetap tinggi.

Perry mencontohkan, tingkat imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun saat ini sudah meningkat ke kisaran 4,8 persen.

"Sekarang suku bunga jangka panjang juga bergerak naik. Karena kebutuhan pembiayaan utang pemerintah dari negara-negara maju," tutur Perry.

Poin terakhir ialah adanya tren aliran modal asing keluar dari pasar keuangan negara berkembang, sehingga menekan pergerakan mata uang negara berkembang terhadap dollar AS.

"Ini yang kemudian dinamika global yang sangat cepat dari RDG bulan lalu ke RDG bulan ini," ucapnya.

Baca juga: Harga Emas Dunia Tergelincir, Investor Menanti Sinyal Suku Bunga The Fed

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com