Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Munir Sara
Tenaga Ahli Anggota DPR RI

Menyelesaiakan Pendidikan S2 dengan konsentrasi kebijakan publik dan saat ini bekerja sebagai tenaga Ahli Anggota DPR RI Komisi XI

Inflasi Era Jokowi dan SBY

Kompas.com - 05/01/2024, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Lesatan inflasi juga terjadi era SBY, akibat dampak spillover dari kebijakan taper tantrum The Fed-AS. Langkah The Fed mengurangi kepemilikan AS treasury, memantik kepanikan di pasar modal, harga bursa saham berjatuhan.

Terjadi capital outflow dan depresiasi rupiah dan imported inflation. Pada akhir pemerintahan SBY, inflasi masih tinggi di atas 8 persen dan secara gradual relative terkendali sepanjang dua periode pemerintahan Jokowi.

Memang di era SBY pertumbuhan ekonominya tinggi. Era presiden ke-VI ini pertumbuhan ekonomi tumbuh rata-rata 6 persen, namun rata-rata inflasi lebih tinggi; 7,29 persen.

Lain pemerintah, lain pula kebijakan ekonomi yang ditempuh. Era SBY, pedal gas ekonomi digencet kencang.

Namun saat yang sama, ketika output melampaui potensialnya, mesin ekonomi kepanasan (overheating)—ditandai dengan inflasi yang tinggi. Kecepatan pertumbuhan ekonomi tak sesuai kapasitas mesinnya seperti ketersediaan input/faktor produksi di industri dasar.

Berbeda dengan SBY, Jokowi lebih mementingkan stabilitas. Stability is the key. Ibaratnya, sebagai driver, Jokowi memacu kecepatan ekonomi sesuai kapasitas mesinnya.

Jika mesin ekonomi berjalan dengan kecepatan yang sesuai dengan kapasitasnya, maka roda-roda pembangunan akan berputar dengan lancar dan membawa kesejahteraan bagi masyarakat.

Namun, jika mesin mobil dipaksa untuk berjalan terlalu kencang, maka mesin akan kepanasan dan berisiko rusak. Dus inflasi yang tinggi, memperburuk daya beli, produktivitas, kemiskinan dan ketimpangan.

Namun inflasi yang terkendali tersebut bukan tanpa ongkos. Pasalnya, beberapa produk pangan yang pasokannya tak dapat dipenuhi dalam negeri, perlu disiasati dengan jalan impor.

Dari sumber BPS, sepanjang Januari-November 2023, nilai impor komoditas pangan RI adalah 5,01 miliar dollar AS atau setara Rp 77,8 triliun (Kurs Rp 15.485 per dollar AS).

Nilai impor yang fantastis ini bersumber dari impor beras sebanyak 2,53 juta ton (1,45 miliar dollar AS), impor gula : 4,55 juta ton (2,54 miliar dollar AS), daging jenis lembu 214.270 ton (753,84 juta dollar AS), dan impor jagung 892.080 ton (276,07 juta dollar AS).

Biaya yang terbilang mahal untuk menjaga stabilitas harga.

Jumlah penduduk yang terus bertambah, lahan pertanian kian menyusut, migrasi pola kerja terdisrupsi membuat kecemasan akan ketersediaan produksi pangan dalam negeri ke depan.

Dus, pemerintah perlu melakukan investasi di sektor pertanian besar-besaran. Bukankah kedaulatan pangan juga tanda berdaulatnya negara?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com