Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rudi Hartono
Penulis Lepas dan Peneliti

Penulis lepas dan pendiri Paramitha Institute

Meluruskan Jalan Hilirisasi

Kompas.com - 05/01/2024, 12:40 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Ketiga, pendekatan hilirisasi seharusnya berbeda dengan model ekstraktivisme yang berkelindan dengan ekonomi rente, korupsi, dan pengabaian terhadap risiko kerusakan lingkungan.

Hilirisasi seharusnya memberi efek langsung kepada masyarakat sekitar dan bisa memperkecil peluang kerusakan ekologi.

Keempat, hilirisasi harus mengakhiri kisah pahit ekstraktivisme masa lampau: keuntungan besar dari tata kelola pertambangan tidak disertai dengan penerimaan negara yang signifikan: PPN, PPh, royalti, pajak ekspor, penerimaan negara bukan pajak, dan lain-lain.

Menarik investasi asing memang penting, tetapi obral tax holiday dan tax allowance harus dihitung ulang, agar kehadiran investasi tak hanya menyisakan kemiskinan, ketimpangan ekonomi, dan kerusakan ekologi.

Kelima, keuntungan berlipat ganda dari hilirisasi harusnya memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, sesuai dengan mandat pasal 33 UUD 1945.

Keuntungan berlipat ganda dari hilirisasi harus berdampak langsung pada penerimaan negara yang semakin besar dan sekaligus memperlebar ruang fiskal untuk anggaran pendidikan dan kesehatan.

Sejumlah persoalan

Sejak pemberlakuan larangan ekspor mineral mentah, yang disertai dengan insentif jumbo untuk investasi yang mau masuk melakukan hilirisasi, jumlah smelter di Indonesia terus bertambah.

Per 1 Februari 2023, menurut Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, jumlah smelter di Indonesia sudah mencapai 91 unit (CNN Indonesia, 15 Februari 2023).

Di sisi lain, Indonesia mengalami deindustrialisasi. Gejalanya mulai nampak pada 2002, yang ditandai oleh penurunan kontribusi industri manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB). Namun, penurunan paling drastis terjadi sejak 2009.

Pada 2008, kontribusi manufaktur terhadap PDB masih 27,8 persen. Namun, pada 2022, kontribusinya tinggal 18,3 persen. Seharusnya, dengan agenda hilirisasi besar-besaran sejak 2020, kontribusi manufaktur terhadap PDB bisa terungkit. Faktanya, hal itu tidak terjadi.

Yang terjadi, meski hilirisasi nikel sudah berjalan sejak awal 2020, barang kebutuhan rumah tangga seperti panci, peniti, dan sendok masih diimpor.

Impor peniti, yang bahan bakunya besi anti-karat (stainless steel) dari nikel, naik dari Rp 243,7 miliar per Juli 2022 menjadi Rp 258,4 miliar atau 852,3 ton per Juli 2023.

Penyebabnya, sebagian besar hasil hilirisasi nikel masih berbentuk feronikel dan nickel pig iron (NPI), belum menjadi produk lebih lanjut, misalnya besi anti-karat (stainless steel) yang bisa menjadi bahan baku industri.

Sudah begitu, sebagian besar hasil hilirisasi nikel itu diekspor ke luar negeri, terutama Tiongkok. Dan ironisnya, tak sedikit yang kita impor kembali menjadi barang jadi.

Persoalan lainnya, meski arus investasi untuk smelter membesar, tetapi kontribusinya perbaikan kualitas investasi untuk penyerapan tenaga kerja tidak membaik.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com