Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Munir Sara
Tenaga Ahli Anggota DPR RI

Menyelesaiakan Pendidikan S2 dengan konsentrasi kebijakan publik dan saat ini bekerja sebagai tenaga Ahli Anggota DPR RI Komisi XI

Tantangan Capres Wujudkan Kedaulatan Pangan

Kompas.com - 20/01/2024, 08:19 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

EARL Butz, Menteri Pertanian Amerika Serikat (1974) berkata "food is weapon." Inilah senjata paling mematikan bagi umat manusia.

Pangan adalah masalah kompleks dan strategis, yang membutuhkan kebijakan yang adil, berkelanjutan, dan berdaulat. Pangan bukan hanya soal perut, tapi soal eksposur kedaulatan bangsa.

Dari sumber data Badan Pusat Statistik, tampak bahwa sektor pangan di Indonesia sangat rapuh. Neraca perdagangan pangan di Indonesia selalu defisit selama 20 tahun terakhir. Artinya nilai impor pangan lebih besar daripada nilai ekspor pangan.

Periode 2014-2023, rata-rata defisit neraca perdagangan pangan Indonesia adalah Rp 2.316 juta dollar AS. Data ini menggambarkan bahwa Indonesia belum mampu mencapai kemandirian pangan, yaitu kondisi di mana produksi pangan domestik dapat memenuhi kebutuhan konsumsi pangan nasional tanpa bergantung pada impor.

Data BPS ini juga menunjukkan Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga dan ketersediaan pangan global, yang dapat berdampak pada ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat.

Contoh terdekat yang dapat kita lihat adalah kebijakan restriksi ekspor beras India, berdampak sekali terhadap gejolak harga beras di Indonesia.

Nilai defisit neraca perdagangan pangan di Indonesia mencapai puncaknya pada 2014, dengan selisih sebesar 4.277 juta dollar AS antara impor dan ekspor pangan.

Nilai defisit neraca perdagangan pangan di Indonesia menurun pada 2015-2017, tetapi meningkat kembali pada 2018-2023.

Tentu data neraca perdagangan pangan lebih tepatnya menggambarkan aspek perniagaan di sektor pangan. Namun defisit neraca perdagangan pangan yang terus melebar, menggambarkan lemahnya produksi dalam negeri untuk menjawab permintaan domestik.

Dengan jumlah penduduk yang terus bertambah, produksi pangan nasional yang rentan terhadap perubahan iklim dan krisis geopolitik, menuntut stok pangan Indonesia harus resilien.

Apalagi sektor pangan adalah ihwal yang sangat rentan berdampak terhadap kemiskinan. Pasalnya dalam indikator Garis Kemiskinan (GM), pengeluaran masyarakat untuk konsumsi makanan lebih besar dari nonmakanan.

Dengan demikian, gejolak harga pangan, dapat berdampak terhadap kemiskinan. Khususnya pada kelompok fixed income pada 40 persen kelompok masyarakat dengan pendapatan terendah. Demikian juga mereka yang rentan miskin (near poor).

Bila terjadi gejolak harga pangan, mereka yang sudah miskin menjadi miskin ekstrem dan rentan miskin terperosok menjadi miskin ekstrem. Lagi-lagi pemicunya adalah gejolak harga pangan

Rencana kebijakan pangan Capres

Dalam beberapa pandangannya di forum-forum publik, calon presiden Prabowo Subianto menyampaikan keinginan mewujudkan lumbung pangan nasional dengan food estate. Tentu saja pandangan ini strategis dalam rangka menciptakan manajemen buffer pangan domestik.

Selama ini, untuk menstabilkan gejolak harga pangan (volatile food), pemerintah selalu menempuh jalan impor.

Secara perniagaan, dari aspek national gain memang berdampak positif, karena dalilnya impor selalu lebih murah.

Namun cara berpikir seperti ini dapat dikoreksi, karena dari sisi produsen lokal justru merugikan. Impor produk pangan seperti beras, misalnya, selalu merugikan petani dalam negeri.

Oleh sebab itu, pencadangan stok pangan, idealnya disuplai oleh produksi dalam negeri.

Oleh sebab itu, politik pangan dalam konteks “kebijakan pangan nasional” dengan food estate, adalah gagasan strategis.

Apalagi basis dari food estate juga pada pangan lokal, sebagai bentuk diversifikasi pangan. Namun membutuhkan dukungan infrastruktur dan investasi yang besar.

Sebaliknya, dalam mewujudkan ketahanan pangan, arah kebijakan capres Anies Baswedan di sektor pangan adalah mengembangkan skema contract farming. Program yang dinilai cukup berhasil dalam menciptakan pasokan pangan dan kesejahteraan petani domestik.

Evidance base policy dari contract farming dapat dilihat dari cara Anies mengelola kebijakan pangan di Jakarta.

Melalui kebijakan ini, pasokan pangan di Jakarta ditopang dengan kerja sama antara Pemprov DKI Jakarta dan di luar Jakarta. Dengan skema ini, petani mendapatkan jaminan harga dan kuantitas pembelian, sementara Pemprov DKI mendapatkan pasokan beras berkualitas dan murah.

Menurut data dari Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian DKI Jakarta, pasokan beras dari Bogor mencapai 1.000 ton per bulan, dengan harga Rp 9.500 per kilogram, lebih murah dari harga pasar yang berkisar antara Rp 10.000 hingga Rp 12.000 per kilogram.

Selain itu, kualitas beras juga terjamin, karena petani menggunakan varietas unggul seperti Mekongga dan Inpari.

Selama menjadi Gubernur DKI, Anies juga meluncurkan program contract farming untuk sayuran organik, yang melibatkan 500 petani di Bogor dan Sukabumi.

Program ini bertujuan meningkatkan kesehatan masyarakat, mengurangi polusi, dan memberdayakan petani lokal.

Pengembangan contract farming juga dilakukan pada komoditas lain seperti daging sapi, telur ayam, dan ikan.

Dengan contract farming, Anies berharap dapat mengurangi ketergantungan DKI Jakarta terhadap impor pangan, meningkatkan kesejahteraan petani, dan menjamin ketersediaan pangan yang aman dan terjangkau.

Sementara itu, capres Ganjar Pranowo menitik beratkan pada inovasi dan hilirisasi di sektor pangan berbasiskan riset lokal.

Menurut pandangan saya, gagasan Ganjar futuristik, karena bermuara pada peningkatan nilai tambah sektor pertanian.

Selain berkontribusi pada PDB (Produk Domestik Bruto), juga menaikan taraf hidup ekonomi. Tentu saja hilirisasi sektor pertanian menuntut perlunya skilling-up.

Para petani akan beranjak dari informal ke sektor formal dan menjadi bankable agar memiliki akses pembiayaan ke lembaga keuangan sehingga sektor pertanian memiliki multiplier effect terhadap perekonomian.

Menguatkan sektor pertanian

Ada hal yang jarang diperbincangkan para Capres, yakni investasi di sektor pertanian. Investasi dan pembiayaan sektor pertanian, adalah satu kesatuan ekosistem yang perlu direvitalisasi dengan melibatkan pemerintah dan swasta.

Ulasan Kompas edisi 21 Oktober 2023, tentang rendahnya dukungan fiskal melalui anggaran belanja Kementerian Pertanian, adalah problem yang perlu diuraikan para Capres.

Problem yang sama juga dapat dilihat dari masih rendahnya dukungan lembaga keuangan, baik bank maupun non bank termasuk lembaga keuangan mikro ke sektor pertanian.

Serapan kredit perbankan untuk sektor pertanian Indonesia baru 7,76 persen dari total kredit nasional.

Angka tersebut masih rendah bila dibandingkan dengan China sebesar 14,1 persen, Vietnam 24 persen, dan Thailand 17,6 persen. Negara-negara dengan dukungan pembiayaan atau investasi ke sektor pertanian yang besar, juga didukung oleh institusi pembiayaan.

Thailand punya Bank for Agriculture and Agricultural Cooperatives (BAAC), China punya Agricultural Bank of China (ABC), dan Vietnam punya Vietnam Bank for Agriculture and Rural Development (Agribank).

Informasi ini menggambarkan sektor pertanian di negara-negara tersebut lebih baik karena dukungan pembiayaan sudah lebih maju dari Indonesia.

Setali tiga uang, pengembangan sektor keuangan melalui sekuritisasi aset di bidang pertanian, juga dalam rangka meningkatkan dukungan intermediasi sektor keuangan pada pertanian.

Amerika Serikat, misalnya, sejak 1980-an, telah mengembangkan sektor keuangan untuk dukungan pertaniannya.

Sekuritisasi aset di sektor pertanian AS, telah berkembang sejak 1980-an, dengan melibatkan berbagai lembaga keuangan seperti Federal Agricultural Mortgage Corporation (Farmer Mac), Farm Credit System (FCS), dan bank komersial.

Sekuritisasi aset di sektor pertanian AS, bertujuan meningkatkan likuiditas dan efisiensi pasar, menurunkan biaya pembiayaan (cost of fund), dan mengurangi risiko kredit di sektor pertanian.

Jenis aset yang disekuritisasi antara lain kredit pertanian, hipotek pertanian, dan pendapatan sewa tanah pertanian. Dukungan sektor keuangan juga dikonsentrasikan untuk meningkatkan akses dan inklusi keuangan di sektor pertanian.

Tak bisa pungkiri, para petani adalah kelompok usaha mikro yang rata-rata sulit mengakses lembaga pembiayaan formal.

Dari data Kementan, sekitar 70 persen petani di Indonesia, masih mengandalkan modal usaha dari pinjaman rentenir dengan bunga tinggi.

Oleh sebab itu, investasi yang mengarah pada inklusi keuangan dengan dukungan digitalisasi di sektor pertanian, adalah bagian dari jawaban untuk mengurai benang kusut pembangunan sektor pertanian di Indonesia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com