Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cak Imin Sebut Pemerintah Tak Seriusi Transisi Energi, Ini Respons Pengamat Ekonomi

Kompas.com - 22/01/2024, 19:00 WIB
Kiki Safitri,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Calon Wakil Presiden (Cawapres) nomor urut 1 Muhaimin Iskandar (Cak Imin) menilai bahwa komitmen pemerintah untuk melakukan transisi energi tidak serius. Bagaimana respons pengamat ekonomi? 

Salah satu pengamat ekonomi, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira ternyata setuju dengan pernyataan Cak Imin. Menurut dia, komitmen pemerintah untuk melakukan transisi energi bersih memang tidak serius.

“Memang yang disampaikan itu misalnya target EBT dalam ketenagalistrikan. Itu memang direncanakan turun targetnya, tadinya 23 persen menjadi 17 persen,” kata Bhima kepada Kompas.com, Senin (22/1/2024).

“Itu kan artinya ada keengganan dari pemerintah (PLN) untuk mendorong bauran EBT lebih besar,” tambahnya.

Baca juga: ESDM Sebut Pentingnya Transisi Energi untuk Dorong Daya Saing Produk RI hingga Pemerataan Pembangunan

Sebelumnya, Cak Imin mengatakan, pajak karbon adalah salah satu yang dipersiapkan untuk transisi EBT. Namun sayangnya, komitmen pemerintah tidak serius.

“Target EBT yang mestinya kita harus punya target 2025 berkurang dari 23 menjadi 17 persen,” kata Cak Imin dalam Debat Cawapres malam tadi.

Cak Imin juga menuturkan bahwa pemerintah menunjukkan keengganannya untuk mempercepat transisi energi. Ini terlihat dari penundaan implementasi pajak karbon.

“Dari tahun 2002 dimundur menjadi tahun 2025, apanya yang mau dilanjutkan? karena itu secara tegas harus dilakukan implementasi pajak karbon dilakukan secepat-cepatnya sekaligus transisi EBT di jalankan,” tegas Cak Imin.

Baca juga: Percepat Koordinasi, Kantor Bersama Satgas Tim Transisi Energi Nasional Diresmikan

Bhima mengungkapkan, selain penurunan target EBT, pemerintah juga tak konsisten dengan negosiasi Just Energy Transition Partnership (JETP). Bhima bilang, dari banyaknya PLTU yang akan disuntik mati, hanya ada 2 PLTU yang saat ini masuk dalam agenda untuk dipensiunkan.

“Dalam kerja sama JETP-pun hanya ada 2 rencana pensiun dini PLTU batu bara, yakni PLTU Cirebon dan PLTU Pelabuhan Ratu. Padahal, ada banyak PLTU yang bisa ditutup, karena sudah tua, dan polusi udaranya berbahaya bagi lingkungan,” ujar Bhima.

“Ini artinya ada ongkos kesehatan, dan sebetulnya menutup PLTU itu juga bisa menyelamatkan keuangan negara, karena di tengah kondisi oversupply listrik,” jelas dia.

Bhima juga menyoroti bukti-bukti ketidakseriusan pemerintah dalam melakukan transisi energi, yakni hambatan dari segi regulasi untuk jual beli listrik ke PLN dari PLTS Atap.

“Kalau kita lihat, masih besar sekali subsidi yang diberikan ke fosil, dalam bentuk subsidi BBM, listrik yang asalnya dari PLTU, dan juga subsidi gas 3kg,” ujar Bhima.

“Memang pemerintah ini aneh, dia seolah-olah berkata transisi energi, NZE, tapi tidak mau langsung mendorong ke EBT,” tambahnya.

Baca juga: CCS, Teknologi Tepat Hadapi Susutnya Cadangan Minyak Dunia

 


Di sisi lain, saat ini banyak banyak orang yang menilai bahwa transisi energi belum siap karena infrastruktur yang tidak mendukung. Inipun menimbulkan solusi yang semu.

Misalnya, beberapa imbauan untuk jagan segera melakukan transisi, melainkan menggunakan gas yang ada saat ini, karena jumlahnya melimpah.

Selain itu, Carbon Capture and Storage (CCS) yang dianggap sebagai jembatan untuk energi yang lebih bersih. Bhima menilai solusi yang ditawarkan pemerintah menghambat transisi energi.

“Jadi itu beberapa indikator bahwa transisi enegi kita seolah ‘dihambat’ atau jalan di tempat,” tegasnya.

Baca juga: Menteri ESDM Sebut Transisi Energi Baru Terbarukan Baru 60 Persen dari Target

 

Transisi energi jalan di tempat

Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengatakan, program transisi energi era presiden Joko Widodo (Jokowi), masih jalan di tempat.

Program, untuk beralih dari pemakaian energi fosil ke energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan, belum mencapai target-target ditetapkan. Target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada 2025 sulit dicapai lantaran pada akhir 2023 masih mencapai 12,8 persen.

“Target pada 2030 sebesar 44 peren, tampaknya masih jauh panggang dari api. PLN sesungguhnya sudah melakukan berbagai upaya, namun hasilnya masih sangat minim, bahkan beberapa upaya tersebut mengalami kegagalan,” jelas Fahmi.

Fahmi bilang, sejak berapa tahun lalu Pertamina sudah mengusahakan bio-diesel, yang merupakan percampuran solar dengan minyak sawit. Dimuilai dengan B-20 meningkat ke B-35, naik menjadi B-40 lalu berhenti lantaran Eni, partner usaha dari Italia, menghentikan kerjasama dengan Pertamina.

Pengembangan bio-diesel selain tidak dapat dicapai, program EBT berbasis sawit juga berpotensi bertabrakan dengan program pangan untuk menghasilkan minyak goreng. Demikian juga dengan program gasifikasi Pertamina, yang mengolah batu bara menjadi gas, juga mengalami kegagalan setelah partner usaha dari Amerika Serikat hengkang dari Indonesia.

Berbeda dengan Pertamina, Program PLN dalam pengembangan EBT relatif berhasil. PLN telah menyelesaikan 28 pembangkit EBT baru. Program itu di antaranya: program dedieselisasi dengan pembangunan jaringan transmisi dan jaringan distribusi hingga pengembangan hidrogen hijau pada tahun 2023.

Salah satu upaya transisi energi yang paling fenomenal yakni diresmikannya proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terapung Cirata dengan kapasitas 192 megawatt peak (MWp). Namun, program pensiun dini PLTU batu bara belum diselesaikan lantaran kesulitan penyediaan dana.

“Kendati program transisi energi Jokowi masih jalan di tempat, siapa pun presiden terpilih yang menggantikan Jokowi, harus melanjutkan dan mengaselerasi program transisi energi. Target yang harus dicapai dalam program transisi energi itu adalah pencapaian Net-Zero Emission pada 2060,” tegas Fahmi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com