Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Munir Sara
Tenaga Ahli Anggota DPR RI

Menyelesaiakan Pendidikan S2 dengan konsentrasi kebijakan publik dan saat ini bekerja sebagai tenaga Ahli Anggota DPR RI Komisi XI

Kontribusi Hilirisasi Nikel dan Kemiskinan

Kompas.com - 28/01/2024, 10:51 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

INDUSTRI pengolahan yang di dalamnya ada hilirisasi SDA (Sumber Daya Alam), diharapkan dapat menggenjot nilai tambah yang dapat meningkatkan kinerja PDB (Produk Domestik Bruto) nasional.

Namun sayangnya, geliat hilirisasi SDA dan kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDB masih tumbuh terbatas.

Jika kita lihat data BPS (Badan Pusat Statistik) Triwulan III-2023, pertumbuhan industri pengolahan melebihi pertumbuhan ekonomi nasional. Pertumbuhan ekonomi 4,94 persen (yoy/year on year) dan pertumbuhan industri pengolahan 5,20 persen (yoy).

Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi industri pengolahan terhadap produk PDB meningkat. Namun sayangnya, share industri pengolahan terhadap PDB belum mampu melampaui level pra-pandemi Covid-19 sebesar 19,82 persen.

Share industri pengolahan terhadap PDB di Triwulan III-2023 adalah 18,75 persen (yoy).

Artinya, nilai tambah yang dihasilkan sektor industri pengolahan di Indonesia telah mengalami pertumbuhan dibandingkan dengan periode sebelumnya.

Namun, proporsi nilai tambah industri pengolahan terhadap total nilai tambah seluruh sektor ekonomi di Indonesia masih lebih rendah dari angka yang dicapai sebelum pandemi Covid-19.

Dus 10 tahun terakhir, kontribusi industri pengolahan terhadap PDB rata-rata hanya di kisaran 18 persen. Lebih rendah dari era-era sebelumnya sekitar 20 persen terhadap PDB.

Dengan adanya hilirisasi, seharusnya kontribusi industri pengolahan terhadap PDB lebih tinggi >20 persen).

Dari sisi fiskal pun demikian, dari data Kementerian Keuangan, kontribusi sektor industri pengolahan terhadap penerimaan pajak mengalami penurunan dari 29,2 persen tahun 2022, menjadi menjadi 27,1 persen tahun 2023.

Hal ini menunjukkan sektor industri pengolahan mengalami perlambatan pertumbuhan dan kinerja yang kurang optimal—seiring terjadinya normalisasi harga komoditas global dan penurunan permintaan global.

Kinerja pertumbuhan kumulatif penerimaan pajak dari industri pengolahan mengalami penurunan tajam, dari tahun 2022 sebesar 36,4 persen menjadi hanya 3,1 persen tahun 2023.

Insentif pajak di sektor industri pengolahan, khususnya hilirisasi nikel, juga tercatat cukup besar.

Untuk mendorong hilirisasi nikel dan ekosistem bisnisnya, pemerintah memberikan berbagai insentif pajak bagi perusahaan yang berinvestasi di sektor ini. Insentif pajak ini meliputi:

  1. Pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan hingga 100 persen selama jangka waktu tertentu, tergantung pada besarnya investasi yang dilakukan.
  2. Pengurangan pajak penghasilan badan sebesar 30 persen dari jumlah investasi yang ditanamkan, yang dapat dinikmati selama 6 tahun dengan rincian 5 persen per tahun.
  3. Pembebasan bea masuk atas impor mesin, barang, dan bahan untuk keperluan produksi dalam negeri sesuai dengan kapasitas terpasang.
  4. Pemberian tarif royalti yang lebih rendah bagi perusahaan yang melakukan hilirisasi nikel dibandingkan dengan yang hanya mengekspor nikel mentah.

Selain itu, pemerintah juga memberikan tarif pajak pertambahan nilai yang lebih rendah (hingga 1 persen) bagi industri hilir nikel, terutama untuk produk baterai.

Demikian juga pemberian keringanan pajak barang mewah bagi mobil listrik yang menggunakan baterai hasil hilirisasi nikel.

Insentif yang sama juga dalam bentuk pemberian keringanan bea masuk bagi mobil dan komponen yang menggunakan baterai hasil hilirisasi nikel, dengan tarif yang bervariasi (hingga 50 persen untuk mobil, 7,5 persen untuk completely knock down (CKD), dan 10 persen untuk spare part).

Belanja pajak yang besar untuk hilirisasi Nikel dan ekosistemnya ini menuai kritikan.

Pertama, dianggap menjadi salah satu faktor penekan realisasi penerimaan pajak. Kebijakan hilirisasi komoditas nikel dinilai telah menggerus penerimaan pajak hingga Rp 32 triliun. Hal ini diungkapkan oleh lembaga riset Center of Economic and Law Studies (Celios).

Kedua, dengan dampak deforestasi yang ditimbulkan di sektor hulu dari hilirisasi nikel, seharusnya insentif yang diberikan perlu dengan kajian yang komprehensif, dalam kerangka ekonomi berkelanjutan.

Dus, ekonomi hijau idealnya memiliki supply chain yang linear. Pernyataan bahwa ekonomi hijau memiliki supply chain yang linier berarti bahwa ekonomi hijau menerapkan prinsip-prinsip ramah lingkungan dalam setiap tahap rantai pasok, mulai dari pemilihan bahan baku berkelanjutan, penggunaan energi terbarukan, pengurangan dan pengelolaan limbah, hingga pengoptimalan logistik untuk mengurangi emisi.

Jika insentif diberikan pada produk hilirisasi nikel dengan perolehan baku dengan dampak deforestasi yang tinggi, justru bertentangan dengan prinsip-prinsip ideal ekonomi hijau.

Data yang dirilis harian Kompas edisi 13 Juli 2023, menunjukkan bahwa deforestasi nikel telah mencapai 24.811 ha dari 2000-2023.

China menguasai supply chain ekonomi hijau, yang berarti China memiliki peran penting dalam memproduksi dan mendistribusikan produk ramah lingkungan, seperti energi terbarukan, kendaraan listrik, dan produk organik.

Sementara Indonesia, dengan kemampuan supply chain yang terbatas dalam ekonomi hijau, hanya menjadi pasar bagi produk-produk impor seperti mobil listrik. Di saat yang sama, dari sisi hulu hilirisasi SDA, mengalami deforestasi.

Indonesia perlu meningkatkan kemampuan dan kemandirian dalam mengembangkan supply chain ekonomi hijau di dalam negeri.

Indonesia juga perlu mengevaluasi kebijakan pajak yang diberikan kepada perusahaan smelter China, agar tidak merugikan keuangan negara dan menghambat perkembangan industri lokal.

Indonesia harus bisa memanfaatkan sumber daya alamnya untuk menciptakan produk-produk hijau yang bernilai tinggi dan berdaya saing di pasar global.

Kemiskinan

Geliat pertumbuhan ekonomi di Sulteng lima tahun terakhir cukup fantastis. Secara tahunan, rata-rata pertumbuhan ekonomi Sulteng dari 2020-Triwulan III-2023 di kisaran 11 persen.

Pada Triwulan III-2023, pertumbuhan ekonomi Sulteng adalah 13,6 persen (yoy). Industri pengolahan mencatatkan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Sulteng sebesar 27,99 persen dengan pertumbuhan secara tahunan sebesar 9.78 persen

Namun dari struktur ekonominya, sektor dengan pangsa penyerapan tenaga kerja tertinggi adalah sektor pertanian dan jasa kemasyarakatan menyerap 38,73 persen dan 21,92 persen dari total tenaga kerja.

Sedangkan sektor industri pengolahan hanya menyerap 9,49 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian dan jasa kemasyarakatan lebih dominan dalam menghasilkan lapangan kerja daripada sektor industri pengolahan (di dalamnya ada smelter nikel dll)

Dengan pengertian hilirisasi SDA, cenderung technology intensive (bukan labour intensive) sehingga penyerapan tenaga rendah.

Artinya, penurunan kemiskinan, tidak serta merta dapat diklaim sebagai buah dari maraknya hilirisasi nikel di Sulteng.

Kendati sektor Industri pengolahan mampu mengerek nilai tambah PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) sulteng sebesar 27.99 1 persen dan pertumbuhan ekonomi hingga 13,6 persen (yoy) pada kuartal III-2023, namun pertumbuhan ekonomi dengan kontribusi nilai tambah dari sisi industri pengolahan yang besar belum berkualitas.

Khusus daerah tempat hilirisasi nikel, data kemiskinannya dapat ditelaah lebih kritis dengan menggunakan sumber BPS.

Ternyata penurunan kemiskinannya belum signifikan, masih bertengger di double digit, yakni 12,31 persen di tahun 2023 (Sumber : BPS).

Kabupaten dengan penduduk miskin (PO) single digit adalah Banggai dan Kota Palu, dengan rata-rata pendudukan miskin 7,3 persen dan 6,7 persen. Penurunan kemiskinan yang signifikan itu kalau sampai single digit.

Sangat disayangkan, lingkungannya rusak tapi kemiskinannya masih double digit. Penurunan Kemiskinan tertinggi di Sulteng berdasarkan Kabupaten Kota terjadi di Banggai sebesar 11,37 persen dari tahun 2021-2023. Bukan Morowali.

Hilirisasi SDA memang diperlukan untuk meningkatkan nilai tambah PDB. Namun di saat yang sama, pemerintah perlu mendiversifikasi hilirisasi dimaksud, agar tidak bertumpu pada pengerukan SDA tanpa memikirkan keseimbangan ekologi dan keberlanjutan untuk masa depan generasi.

Toh, dari sisi sektor DPD di daerah seperti Sulteng, tampak bahwa sektor pertanian dan jasa kemasyarakatan yang jauh lebih besar kontribusinya atas penyerapan tenaga kerja di antara 17 sektor PDRB di Sulteng. Bukan industri pengolahan seperti hilirisasi nikel.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com