"Sehingga tidak memberatkan mahasiswa, tapi tetap mencegah terjadinya moral hazard, dan tetap memberikan afirmasi terutama kepada kelompok yang tidak mampu," ujarnya lagi.
Mengutip arsip Harian Kompas, pinjaman pendidikan bagi mahasiswa sebenarnya bukan barang baru di Indonesia. Pada tahun 1982, di bawah pemerintahan Orde Baru, pinjaman serupa pernah berlaku dalam bentuk kredit mahasiswa Indonesia.
Kredit ini disalurkan bagi mahasiswa melalui sejumlah bank, seperti Bank Negara Indonesia (BNI) 46, Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan Bank Ekspor-Impor Indonesia.
Skema KMI pun mulai berlaku sejak 8 Mei 1982 ditandai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Nomor 15/12/Kep/Dir/UKK tentang pemberian kredit bank kepada mahasiswa oleh direksi BI.
Kredit tersebut diberikan kepada mahasiswa di tingkat S-1, S-2, S-3, dan program nongelar diploma III.
Dalam penerapannya, pembayaran angsuran pokok dan bunga KMI dilakukan dengan pemotongan langsung gaji secara langsung (auto debet) setiap bulan melalui instansi atau perusahaan tempat bekerjanya penerima KMI.
Baca juga: AS Hapuskan Student Loan 160.000 Mahasiswa Senilai Rp 123 Triliun
Sebagai jaminan, ijazah mahasiswa akan ditahan sampai pinjaman tersebut lunas. Bank pelaksana kemudian dapat menghentikan penyaluran KMI apabila mahasiswa penerima kredit telah lulus atau putus kuliah.
Dalam setahun, para penerima KMI maksimal menerima Rp 750.000 dengan besaran suku bunga 6 persen per tahun untuk tenor selama 10 tahun yang terhitung diluar masa tenggang, yakni masa belajar ditambah kompensasi waktu paling lama setahun.
Kredit tersebut, antara lain, dapat digunakan untuk keperluan uang kuliah, praktikum, biaya penelitian, studi tour, studi lapangan, penyusunan skripsi atau tesis, dan pembelian buku.
Selain itu, kredit juga bisa dialokasikan untuk biaya hidup atau biaya lain tergantung persetujuan bank pelaksana dan pihak perguruan tinggi.
Masih dilansir dari Harian Kompas, sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan menyebabkan para penerima KMI kesulitan membayar cicilan. Fenomena tersebut terutama terjadi di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah sejak dua tahun KMI berlaku.
Dalam perjalanannya, lebih kurang selama enam tahun, Pemimpin Wilayah V BNI Zulmar Rafii mengatakan, sebagian pengembalian KMI yang seharusnya sudah mulai dilunasi mengalami kendala.
Alamat para mahasiswa penerima KMI banyak yang tidak tentu dan ada pula yang penghasilannya jauh dari kata cukup sehingga tak mampu membayar cicilan.
Para penerima kredit di Jawa Tengah dan DIY notabene bekerja sebagai pegawai negeri dengan penghasilan rata-rata Rp 60.000 per bulan dan akan meningkat menjadi Rp 84.000 per bulan setelah diangkat. Dengan penghasilan tersebut, para penerima kesulitan mengangsur cicilan Rp 15.000-25.000 per bulan.
Baca juga: Sri Mulyani Irit Bicara Soal Skema Student Loan Imbas UKT Mahal
”Sulitnya mencari lapangan kerja sekarang kemungkinan besar menjadi penyebab para penerima kredit sulit diketahui alamatnya. Akan tetapi, banyak pula yang setelah lama menghilang tiba-tiba muncul lagi dan melunasi kredit itu,” kata Zulmar dalam pemberitaan harian Kompas bertajuk Sulitnya Lapangan Kerja Hambat Pengembalian Kredit Mahasiswa, Senin (4/6/1988).
Selama 1986, penerima KMI di Jawa Tengah dan DIY tercatat mencapai 9.945 mahasiswa dengan akumulasi kredit mencapai Rp 6,034 miliar atau meningkat 13 persen pada 1987 menjadi 11.052 dengan akumulasi kredit senilai Rp 6,84 miliar.