Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dr. Ir. Muhrizal Sarwani, M.Sc.
Analis Kebijakan Utama Kementan

Analis Kebijakan Utama Kementerian Pertanian

Dapatkah Pertanian Organik Skala Besar Meningkatkan Produksi Padi Nasional?

Kompas.com - 14/06/2024, 12:14 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Pengalaman petani jagung di Kabupaten Pleihari, Kalimantan Selatan, harus berebut dan antre untuk mendapatkan pukan ayam di sekitar Pleihari, bahkan harus pesan jauh-jauh hari dengan membayar cash di depan agar mendapatkan pukan ayam.

Itu baru sekitar 8,000-10,000 ha kawasan jagung di lahan kering yang secara rutin ditanami jagung 2-3 kali setahun. Petani jagung di kawasan tersebut biasa menggunakan pukan ayam sampai dengan 5 ton/ha selain pupuk an-organik seperti Urea dan NPK.

Kendala kedua, sebagai ikutan dari sifat bulkinya pupuk organik, yaitu kendala logistik. Jika petani memiliki lahan 1 ha saja, maka dia harus angkut 2 atau 5 ton pupuk organik tersebut ke lahannya.

Ada tambahan ongkos biaya angkut plus tentunya biaya aplikasinya sendiri yang tidak murah. Sehingga tidak heran kalau produk organik bisa 2-3 kali lipat harganya daripada produk pertanian konvensional.

Ketiga, scale is matters. Skala menjadi penting dan krusial jika ingin mengembangkan pertanian organik.

Skala pertanian organik tidak serta merta bisa dioperasionalkan secara besar-besaran (jutaan ha). Skala ribuan ha pun sudah sulit mengingat sifat bulki pupuk organik.

Dr. Achmad Rahman, penggiat pertanian organik sekaligus juga Asesor Pertanian Organik (SNI 6728-2016) menyampaikan bahwa belum ada di Indonesia yang skala pertanian organik ribuan ha. Skala luas 200-an ha saja yang berkembang sekarang ini.

Banyak contohnya di Indonesia yang petaninya lumayan makmur dan produktivitasnya dapat menyamai produktivitas pertanian yang menggunakan pupuk an organik.

Pertanian organik dapat saja meningkatkan produktivitas dalam skala kecil, tapi tidak serta merta linier jika dikembangkan dalam skala sangat besar.

Harus diakui bahwa pertanian organik merupakan pertanian ramah lingkungan yang menjaga keseimbangan ekologi.

Namun, pertanian yang menggunakan pupuk kimia dan pestisida juga masih dapat menjaga lingkungan dengan baik jika kaidah-kaidah agronomis diikuti, yaitu penggunaan pupuk yang sesuai dengan kebutuhan tanah dan tanaman. Pengendalian hama penyakit juga harus sesuai dengan kaidah pengendalian hama terpadu (PHT).

Program nasional PHT yang dikembangkan oleh pakar Indonesia mendapatkan apresiasi dari komunitas global.

Kebijakan yang diusulkan oleh Prof Bustanul bisa sangat membahayakan produksi pangan dan sistem pangan kita karena akan terjadi destruksi terhadap sistem produksi pangan.

Kurangnya bahan baku organik menyebabkan pemupukan tidak mengikuti rule of thumb agronomis sehingga produktivitas tidak sesuai yang diharapkan. Contoh riilnya adalah Negara Srilanka.

Petaka kebijakan pertanian organik Srilanka

Negara Srilanka merupakan negara pulau di Samudera Hindia yang bertumpu pada pertanian. Baru selesai dengan konflik etnik, negara ini mengalami berbagai krisis mulai 2021.

Pemerintah Srilanka kolaps yang dimulai oleh krisis pangan: inflasi tidak terkendali lebih dari 50 persen dengan harga pangan meroket 80 persen dan biaya transportasi naik 128 persen.

Pemerintah Srilanka (Rajapaksa) menyatakan ‘state of emergency’ untuk mencegah situasi yang tidak terkendali akibat kemarahan rakyatnya.

Banyak spekulasi terkait penyebabnya. Tulisan Chelsea Follett dan Malcolm Cochran di Human Progress (15 Juli 2022) dengan judul "The country's economic collapse is a grim preview of what can result from distorting markets in the name of utopian priorities: Sri Lanka Is a Wake-Up Call for Eco-Utopians" memberikan gambaran krisis yang terjadi di Srilanka.

Perubahan kebijakan yang drastis kepada pertanian organik adalah penyebab utama terjadinya multi krisis di Srilanka.

Memang ini adalah janji kampanye pemilihan presiden Rajapaksa pada 2019 menjadikan pertanian Srilanka menjadi pertanian organik pada 2030.

Namun Rajapaksa mempercepat rencananya pada April 2021, dengan larangan impor mendadak untuk pupuk dan pestisida sintetis, sementara pupuk organik dalam jumlah besar sangat terbatas.

Saking pedenya dengan kebijakan tersebut, dalam artikel untuk World Economic Forum pada tahun 2018, Rajapaksa berkata: "Beginilah cara saya akan membuat negara saya kaya lagi pada tahun 2025”.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com