Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pringadi Abdi Surya
PNS Kementerian Keuangan

Pengamat kebijakan publik. Instagramnya @pringadi_as.

Serba Salah Kelas Menengah

Kompas.com - 20/06/2024, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dana Abadi Pendidikan ini yang kemudian akan dimanfaatkan untuk mengatasi isu kelas menengah dalam akses pendidikan perguruan tinggi.

Sedangkan untuk yang mandatory spending, tetap diutamakan untuk mengatasi permasalahan mendasar pendidikan 12 tahun. Karena lucu agaknya kalau kita membicarakan Indonesia kekurangan doktor misalnya, tapi nyatanya angka RLS masih 9 tahunan.

Kedua, ekosistem Badan Layanan Umum (BLU) Pendidikan. Pemikiran BLU sebagai ekosistem ini hadir dalam beberapa tahun terakhir.

Sebagai sebuah kritik, ia hadir ketika Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) sebagai BLU Pengelola Dana diminta untuk lebih banyak mengalokasikan dananya untuk program-program di dalam negeri.

Lebih spesifik, sebagai ekosistem, LPDP harus bersinergi dengan BLU rumpun pendidikan. Dengan demikian, ia akan menghidupkan (dan meningkatkan) kualitas BLU pendidikan dengan menghadirkan kelas-kelas (prodi) spesifik yang dibutuhkan oleh negara.

Bahkan, ada kritik agar LPDP juga menyasar ke program sarjana di dalam negeri untuk lebih berdaya guna terhadap kesempatan anak-anak muda kita berkuliah.

Pola yang sama direplikasi dan disesuaikan di tingkat regional. Dana Abadi Daerah diperuntukkan anak-anak muda lokal menempuh pendidikan tinggi.

Atau jika dimungkinkan dimulai dari tingkat SMK, mengingat beberapa SMK sudah berstatus BLU Daerah.

Selanjutnya, selama ini, kebanyakan kita berfokus pada angka kemiskinan. Yang dilupakan adalah jumlah kelas menengah (ke bawah) yang rentan miskin apabila ada gejolak pasar atau pun kenaikan pemenuhan kebutuhan sekunder.

Jumlahnya akan sangat banyak, meski belum ada yang menguantifikasinya secara pasti. Salah satu cara yang bisa menguantifikasi kelas menengah ini adalah data perpajakan.

Taruhlah, mereka yang rentan ini adalah mereka yang kena tarif pajak 5 persen untuk PPh 21 dan yang di bawahnya.

Jika orang pribadi yang melapor SPT Tahunan saja sekitar 17 juta, dibandingkan dengan angkatan kerja yang 140 juta lebih, ada lebih dari 100 juta kelas menengah yang rentan ini.

Dalam skala regional, dalam salah satu isu tematik tentang pengangguran, Hafiz (2023) melakukan kajian penghasilan pekerja Aceh di sektor informal yang hanya mencapai Rp 1,6 juta. Angka ini jauh di bawah upah minimum Aceh yang saat itu sekitar Rp 3,4 juta.

Kondisi serupa sangat mungkin terjadi di berbagai daerah, di mana penghasilan yang didapatkan, bahkan jauh di bawah upah minimumnya.

Isu lapangan kerja ini menjadi isu berikutnya yang menjadi perhatian kelas menengah. Mulyadi (2016) menyebutkan bahwa keterbatasan akses terhadap pendidikan dan lapangan pekerjaan merupakan penyebab utama pengangguran.

Keterbatasan lapangan pekerjaan menyebabkan supply (penawaran) tenaga kerja di pasar tenaga kerja melebihi demand (permintaan) tenaga kerja untuk mengisi kesempatan kerja yang tercipta.

Akibatnya timbul kelompok angkatan kerja yang tidak diberdayakan dalam kegiatan perekonomian.

Senada dengan hal itu, Franita, dkk (2019) mengemukakan bahwa terdapat sejumlah faktor yang memengaruhi tingkat pengangguran di Indonesia, salah satunya adalah ketersediaan lapangan pekerjaan yang tidak sebanding dengan banyaknya penduduk yang telah memasuki usia kerja dan/atau angkatan kerja.

Dengan kata lain, pertambahan penduduk yang telah memasuki usia kerja (supply) tidak diimbangi dengan kesempatan kerja yang ada (demand).

Harusnya, kelompok angkatan kerja yang berpendidikan cukup dan sesuai dengan tawaran lapangan pekerjaan akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan. Mereka yang berpendidikan nyatanya sulit mencari pekerjaan.

Hal itu bisa dilihat dari data statistik yang menyatakan tingkat pengangguran terbuka berdasarkan tingkat pendidikan adalah mereka yang berpendidikan SMK/SMA ke atas.

Dalam ALCo Regional Aceh, Prof. Sofyan Syahnur mengungkapkan kritik kekeliruan arah pendidikan kita.

Kesuksesan universitas bukanlah menghasilkan lulusan yang diterima bekerja. Itu adalah ukuran pendidikan vokasi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com