Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wanti-wanti Para Ekonom soal Upaya Pemerintah Bidik Dana dari "Family Office"

Kompas.com - 05/07/2024, 08:30 WIB
Haryanti Puspa Sari,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah ekonom mewanti-wanti rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) berencana untuk membentuk layanan Family Office.

Family Office merupakan salah satu upaya untuk menarik kekayaan dari negara lain atau individu-individu super kaya untuk pertumbuhan ekonomi nasional.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno mengatakan, pemerintah menargetkan mampu menarik 500 miliar dollar AS atau setara Rp 8.178 triliun (asumsi kurs Rp 16.357 per dolar AS) dana kelolaan jika family office resmi dibentuk di Indonesia.

Adapun dana tersebut merupakan 5 persen dari total 11,7 triliun dollar AS dana kelolaan family office di seluruh dunia.

"Kalau Indonesia bisa menarik 5 persen saja, ini sudah bicara angka 500 miliar dollar AS dalam beberapa tahun ke depan. Ini kan peluang nanti akan dikaji lintas sektor dan ini merupakan peluang tambahan," kata Sandi di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (1/7/2024).

Baca juga: Investor Family Office Bakal Bebas Pajak, Menteri PPN: Saya Kasihan sama Menteri Keuangan..

Secara terpisah, Menko Marves Luhut mengatakan, cara kerja Family Office adalah dana dari individu super kaya raya di dunia diperbolehkan disimpan di Indonesia. Namun, mereka harus memutar dananya dengan melakukan investasi di beberapa proyek di Indonesia.

"Mereka (orang super kaya raya dunia) tidak dikenakan pajak tapi harus investasi, dan (dari) investasi nanti akan kita pajaki," kata Luhut melalui akun resmi Instagramnya @luhut.pandjaitan, Senin.

Ia mencontohkan, orang kaya tersebut menyimpan dana di Indonesia sekitar 10-30 juta dollar Amerika Serikat (AS). Kemudian, dana tersebut diputar untuk diinvestasikan ke proyek yang ada di Tanah Air.

"Dia taruh duitnya 10-30 juta USD dan investasi dan kemudian dia harus memakai orang Indonesia untuk kerja di Family office tadi," kata dia.

"Kan banyak proyek di sini, ada hilirisasi, seaweed, dan macam-macam. Jadi Indonesia itu punya peluang yang besar dan harus diambil peluang ini dan tentu harus menguntungkan Indonesia," sambungnya.

Baca juga: Khawatir Jadi Tempat Pencucian Uang, Ekonom Minta Pembentukan Family Office Dikaji Mendalam

Rentan jadi tempat pencucian uang

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, pemerintah harus melakukan mempertimbangkan secara mendalam membentuk Family Office dan menjadi negara surga pajak.

Bhima mengatakan, pemerintah harus memastikan family office tidak disalahgunakan untuk tempat pencucian uang.

"Membuka peluang masuknya family offices dan jadikan surga pajak perlu dipertimbangkan secara mendalam. Apakah indonesia cuma dijadikan sebagai suaka pajak dan tempat pencucian uang misalnya?," kata Bhima saat dihubungi Kompas.com, Selasa (2/7/2024).

Bhima mengatakan, ide menarik minat orang super kaya menyimpan dananya lewat family office ini bertolak belakang dari hasil survei Earth4All yang menunjukkan 86 persen masyarakat di Indonesia mendukung pemberlakuan pajak kekayaan /wealth tax.

Baca juga: Luhut: Dana Family Office Global Berpotensi Tingkatkan PDB dan Investasi Indonesia

Bahkan, kata dia, di antara negara G20 lain dukungan responden soal pajak kekayaan Indonesia tertinggi.

"Jika pemerintah justru mendorong family office yang bebas pajak maka ini bisa menyulitkan pemerintah dalam mengungkap, menyidik dan memajaki orang kaya," ujarnya.

Selain itu, Bhima khawatir investasi family offices tidak masuk ke sektor riil seperti pembangunan pabrik, melainkan hanya diputar di instrumen keuangan seperti pembelian saham dan surat utang.

Bhima juga bilang, berbagai studi menunjukkan bahwa negara yang menjadi tempat family office adalah negara yang mampu memberikan tarif pajak super rendah. Contohnya, Giblatar, Panama, dan Virgin Island.

Selain itu, kriteria lain family office adalah negara dengan kedalaman pasar keuangan dan infrastruktur keuangan yang lengkap seperti Singapura, Inggris, dan Hongkong.

"Dan sepertinya dua kriteria ini belum ada di Indonesia," ucap dia.

Baca juga: Jokowi Tugaskan Luhut Bentuk Tim Pengkaji Family Office

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com