JAKARTA, KOMPAS.com - Usulan tim pemenangan Jokowi-Amin terkait perluasan pengenaan cukai pada barang-barang yang memiliki efek buruk untuk keberlangsungan hidup, seperti pengenaan cukai pada bahan bakar minyak (BBM) dinilai positif.
Direktur Eksekutif Center for Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo setuju apabila cukai dikenakan pada BBM. Hanya saja perlu kesiapan yang matang mulai dari ketepatan waktu serta pilihan substitusi energi non-fosil yang memadai.
"Bisa diusulkan saat pemerintahan baru atau pasca pilpres, tapi harus cek dampaknya ke ekonomi," sebut Yustinus seperti dilansir Kontan.co.id, Minggu (31/3/2019).
Yustinus menjelaskan ini sama saja dengan menaikkan harga BBM untuk mengurangi subsidi BBM. Antara pemberlakuan cukai atau mengurangi subsidi, keduanya sama dalam hal mengurangi konsumsi BBM. "Tetapi secara konsep memang berbeda formulanya," jelas dia.
Baca juga: Sri Mulyani Jelaskan Sulitnya Naikkan Cukai Rokok
Apabila dengan konsep subsidi, saat pemerintah mengurangi subsidi maka konsumen akan menerima harga normal. Sedangkan konsep cukai, harga yang diterima konsumen ditambah dengan cukai. "Cukai sudah advanced setelah subsidi," kata dia.
Menurut Yustinus, cukai ini nantinya hanya bisa dikenakan untuk BBM non-subsidi, supaya menggeser perilaku konsumen ke penggunaan bahan bakar non-fosil. Pengenaan cukai ini sudah diterapkan di hampir semua negara maju. Termasuk sebagian besar Eropa.
Sebagai contoh, berdasarkan data Europan Comission (EC) Eropa mengenakan tarif cukai untuk petrol bertimbal sebesar 421 euro per 1.000 liter. Sedangkan petrol tidak bertimbal sebesar 359 euro per 1.000 liter, dan migas 359 euro per 1.000 liter. Tarif cukai tersebut untuk penggunaan bahan bakar untuk kendaraan.
Untuk cukai BBM di Indonesia, Yustinus menawarkan penerapan tarif proporsional alias semakin besar sesuai dengan liter yang dibeli. Sebagai contoh satu liter dikenakan sekitar Rp 500, maka bila membeli dua liter dikenakan cukai Rp 1.000.
Bisa gerus produktivitas
Sementara ekonom Center of Reform on Economics (Core) Piter Abdullah menilai, wacana itu berpotensi menggerus produktivitas masyarakat. Sebab konsumsi BBM umumnya ditujukan untuk transportasi dan kegiatan produksi lainnya.
"Pengenaan cukai akan berdampak negatif untuk kegiatan produksi," ucap Piter.
Menurut dia, untuk menekan penggunaan BBM lebih baik membiasakan masyarakat menggunakan transportasi publik seperti kereta dalam kota dan bus dalam kota. Dengan cara ini, penggunaan mobil pribadi juga akan berkurang.
Saat ini, penggunaan kendaraan umum masih jauh dari efektif. Moda transportasi umum seharusnya bisa merata di semua provinsi di Indonesia, tidak hanya Jakarta dan sekitarnya. Terutama kota besar lainnya yang merupakan pusat kegiatan ekonomi.
"Kalau ada cukai BBM berarti akan ada kenaikan biaya transportasi dan membebani masyarakat. Ujungnya menekan daya beli," jelas dia.
Berdasarkan UU nomor 39 tahun 2007, saat ini Indonesia hanya memberlakukan cukai untuk tiga jenis barang yaitu ethanol, minuman yang mengandung etil alkohol dan hasil tembakau.
Berdasarkan data Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemkeu, ASEAN sudah menerapkan cukai lebih dari tiga jenis barang. Thailand misalnya, jumlah barang yang dikenakan cukai ada 11.
Sedangkan Kamboja juga 11 jenis barang, Laos 10 jenis barang, Vietnam dan Myanmar masing-masing 9 dan 8 jenis barang. (Benedicta Prima)
Berita ini telah tayang di Kontan.co.id dengan judul Pengamat nilai rencana pengenaan cukai pada BBM bisa kurangi subsidi