Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Meroketnya Harga Cabai dan Masalah Klasik Menahun

Kompas.com - 01/02/2020, 08:58 WIB
Muhammad Idris

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Awal tahun 2020, jadi periode yang pelik bagi pemilik usaha kuliner yang mengandalkan cabai sebagai bahan bakunya. Harga bahan baku utama sambal ini meroket hingga sempat menembus Rp 100.000/kg.

Ketua Umum Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI) Abdul Hamid mengungkapkan, meroketnya harga cabai seolah sudah jadi langganan setiap pergantian musim dalam setiap tahunnya. Selain itu, masalah ini belum juga ditemukan solusi permanennya.

"Sudah jadi masalah klasik. Masalah dari dulu kan cara berbudaya petani, paling penting di situ," kata Hamid kepada Kompas.com, Sabtu (1/2/2020).

Menurutnya, permintaan cabai khususnya jenis rawit terus meningkat dari tahun ke tahun seiring tren kuliner berbahan baku cabai rawit yang populer sejak beberapa tahun belakangan.

Di sisi lain, cara budidaya cabai yang dilakukan petani belum banyak berubah, dalam artinya belum banyak petani cabai yang menanam dengan motede intensifikasi.

"Sudah begitu iklim sekarang berubah, penyakit banyak, lahan semakin menyempit, tanah menurun kesuburannya, cara menanamnya masih sama. Cara berbudidaya petani belum berubah. Pemerintah juga harus aktif melakukan pembinaan cara bercocok tanam yang baik," ujar Hamid yang juga pengepul cabai ini.

Baca juga: Januari Sudah Mau Berakhir, Harga Cabai Masih Tetap Mahal...

"Di sisi lain sekarang kuliner banyak yang butuh cabai. Artinya ada lonjakan permintaan. Ini yang membuat harga cabai, terutama rawit, sangat rentan. Rawit terutama jenis rawit putih, itu juga paling rawan penyakit tanaman," tambahnya.

Dikatakannya, lonjakan harga cabai dalam beberapa waktu terakhir terjadi karena banyak petani yang gagal panen serentak di sejumlah daetah sentra imbas perubahan iklim.

"Cabai saya informasikan naiknya luar biasa, terutama cabai rawit. Penyebab pertama itu iklim, karena banyak petani cabai kita salah memprediksi," ucap Hamid.

Dia mencontohkan, pada Oktober tahun lalu, petani memprediksi musim hujan sudah mulai datang yang artinya mereka bisa mulai menanam cabai.

"Ternyata kondisinya Oktober belum hujan, sampai November juga ternyata belum hujan juga. Sementara banyak petani sudah terlanjur tanam di bulan itu buat dipanen nanti (Januari)," jelas Hamid.

Akibat kekeringan tersebut, banyak tanaman cabai petani gagal panen. Ini membuat pasokan cabai di bulan pertama 2020 anjlok yang berimbas pada harga di pasaran.

"Ternyata banyak nggak panen, karena masih kekeringan. Banyak tanaman cabai mati, air yang ditunggu tidak datang. Memang ada yang panen, tapi jumlahnya sangat sedikit," ujarnya.

Selain kekeringan, hujan yang datang berhari-hari di sejumlah daerah sentra cabai juga membuat tanaman cabai tak bisa segera dipanen.

Jika petani tetap memaksa panen cabai saat kondisi hujan, malah akan membuat cabai cepat rusak sebelum sampai ke pasar.

Baca juga: Ini Sebab Harga Cabai Makin Pedas

"Nah sekarang sudah hujan, masalahnya lagi hujannya kebanyakan. Januari ini kan hujan terus, itu juga banyak sebabkan banyak cabai mati dan susah dipanen, sekitar 60 persen (rusak)," terang Hamid.

Dikatakannya, harga cabai rawit di petani saja sampai saat ini sudah sekitar Rp 70.000 per kg di tingkat petani. Sementara di pasar tradisional saat ini sudah mencapai Rp 90.000 per kg.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Emiten Sawit Milik TP Rachmat (TAPG) Bakal Tebar Dividen Rp 1,8 Triliun

Emiten Sawit Milik TP Rachmat (TAPG) Bakal Tebar Dividen Rp 1,8 Triliun

Whats New
Adu Kinerja Keuangan Bank BUMN per Kuartal I 2024

Adu Kinerja Keuangan Bank BUMN per Kuartal I 2024

Whats New
Setelah Investasi di Indonesia, Microsoft Umumkan Bakal Buka Pusat Data Baru di Thailand

Setelah Investasi di Indonesia, Microsoft Umumkan Bakal Buka Pusat Data Baru di Thailand

Whats New
Emiten Persewaan Forklift SMIL Raup Penjualan Rp 97,5 Miliar pada Kuartal I 2024

Emiten Persewaan Forklift SMIL Raup Penjualan Rp 97,5 Miliar pada Kuartal I 2024

Whats New
BNI Danai Akusisi PLTB Sidrap Senilai Rp 1,76 Triliun

BNI Danai Akusisi PLTB Sidrap Senilai Rp 1,76 Triliun

Whats New
Soroti Kinerja Sektor Furnitur, Menperin: Masih di Bawah Target

Soroti Kinerja Sektor Furnitur, Menperin: Masih di Bawah Target

Whats New
Harga Jagung Turun di Sumbawa, Presiden Jokowi: Hilirisasi Jadi Kunci Stabilkan Harga

Harga Jagung Turun di Sumbawa, Presiden Jokowi: Hilirisasi Jadi Kunci Stabilkan Harga

Whats New
IHSG Ditutup Merosot 1,61 Persen, Rupiah Perkasa

IHSG Ditutup Merosot 1,61 Persen, Rupiah Perkasa

Whats New
Emiten TPIA Milik Prajogo Pangestu Rugi Rp 539 Miliar pada Kuartal I 2024, Ini Sebabnya

Emiten TPIA Milik Prajogo Pangestu Rugi Rp 539 Miliar pada Kuartal I 2024, Ini Sebabnya

Whats New
BI Beberkan 3 Faktor Keberhasilan Indonesia Mengelola Sukuk

BI Beberkan 3 Faktor Keberhasilan Indonesia Mengelola Sukuk

Whats New
Pertemuan Tingkat Menteri OECD Dimulai, Menko Airlangga Bertemu Sekjen Cormann

Pertemuan Tingkat Menteri OECD Dimulai, Menko Airlangga Bertemu Sekjen Cormann

Whats New
Induk Usaha Blibli Cetak Pendapatan Bersih Rp 3,9 Triliun pada Kuartal I 2024

Induk Usaha Blibli Cetak Pendapatan Bersih Rp 3,9 Triliun pada Kuartal I 2024

Whats New
Kembali ke Aturan Semula, Barang Bawaan dari Luar Negeri Tak Lagi Dibatasi

Kembali ke Aturan Semula, Barang Bawaan dari Luar Negeri Tak Lagi Dibatasi

Whats New
Cek Tagihan Listrik secara Online, Ini Caranya

Cek Tagihan Listrik secara Online, Ini Caranya

Work Smart
Harga Beras Alami Deflasi Setelah 8 Bulan Berturut-turut Inflasi

Harga Beras Alami Deflasi Setelah 8 Bulan Berturut-turut Inflasi

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com