Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

BUMN PTPN: Punya Lahan Luas, Korupsi, Terbelit Utang Rp 43 Triliun

Kompas.com - 24/09/2021, 10:01 WIB
Muhammad Idris

Penulis

Sumber Kompas.com

JAKARTA, KOMPAS.com - Bicara soal PT Perkebunan Nusantara atau lebih dikenal dengan PTPN, orang tentu sudah tak asing lagi dengan namanya. BUMN ini cukup populer kerena tanah perkebunannya ada dimana-mana.

Di Pulau Jawa, hampir setiap daerah kabupaten atau kota memiliki kebun di bawah penguasaan PTPN, belum lagi pabrik-pabriknya, yang rata-rata sudah uzur dimakan zaman. 

Luasnya aset tanah PTPN wajar, mengingat perusahaan negara ini memang lahir dari nasionalisasi aset-aset perkebunan milik Belanda pasca-kemerdekaan. 

Namun demikian, dengan aset jumbo tersebut, PTPN kerapkali dirundung masalah seperti laporan keuangan yang sering merugi. Sebut saja pabrik gula, banyak pabrik-pabrik gula peninggalan Belanda yang kini harus ditutup.

Baca juga: Daftar 7 BUMN Terbesar di Indonesia dari Sisi Aset, Siapa Juaranya?

Usaha-usaha menyehatkan BUMN ini sebenarnya sudah banyak dilakukan pemerintah. Seperti kucuran APBN lewat penyertaan modal negara (PMN), hingga pembentukan holding BUMN perkebunan, yakni dengan menggabungkan beberapa PTPN yang jumlahnya mencapai 14 perusahaan.

Sementara induk PTPN adalah PTPN III. Total luas perkebunan dalam grup PTPN ini mencapai 1,19 juta hektare dengan komoditas seperti sawit, kopi, kakao, teh, tembakau, tebu, dan karet.

Teranyar, PTPN jadi sorotan setelah Mneteri BUMN Erick Thohir membeberkan soal korupsi dan utang menggunung yakni mencapai Rp 43 triliun.

Penyebab utang PTPN

Erick Thohir bilang, utang sebesar itu merupakan utang lama yang sudah menggunung.

Pihaknya pun berupaya untuk mengatasi utang tersebut, salah satunya dengan memperpanjangan masa pelunasan utang atau restrukturisasi. Erick menyebut utang ini menjadi korupsi yang terselubung di PTPN.

Baca juga: Berapa Jumlah BUMN di China dan Mengapa Mereka Begitu Perkasa?

"PTPN itu punya utang Rp 43 triliun. Ini merupakan penyakit lama dan saya rasa ini korupsi yang terselubung, yang memang harus dibuka dan dituntut pihak yang melakukan ini," ungkapnya dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI, seperti dikutip pada Jumat (24/9/2021).

Menurut Erick, meskipun restrukturisasi sudah berhasil dilakukan, namun perlu dibarengi komitmen perusahaan untuk membenahi kinerja keuangan. Perbaikan itu dilakukan dengan efiensi besar-besaran biaya operasional perusahaan.

Selain itu, PTPN harus pula meningkatkan produksinya agar arus kas perusahaan bisa terjaga, sehingga bisa melunasi utangnya. Jika tidak terbayarkan, bank yang memberi pinjaman bisa bangkrut akibat besarnya utang PTPN.

"Ketika utang diperpanjang maka harus ada cash yang masuk, ini bank pemberi pinjaman bukan hanya Himbara, tapi ada banyak asing dan swasta, yang kalau tidak terbayarkan mereka bisa kolaps secara beruntun. Maka itu kami berinisiasi, selain efisiensi tetapi juga meningkatkan produksi," jelas Erick.

Baca juga: PG Colomadu, Simbol Kekayaan Raja Jawa-Pengusaha Pribumi era Kolonial

Saat ini kinerja PTPN sangat terbantu dari produksi komoditas kelapa sawit yang memang mengalami peningkatan harga di pasar global. Namun, peningkatan produksi perlu diikuti pula dengan peningkatan kualitas produk.

Menurut Erick, seperti komoditas coklat yang dikembangkan PTPN di Banyuwangi saat ini, kalah saing bahkan di pasar lokal.

Karenanya, diperlukan upaya lebih untuk meningkatkan kualitas komoditas coklat PTPN, sehingga bisa berdaya saing dan berdampak positif bagi perusahaan.

Oleh sebab itu, dia telah meminta PTPN untuk memberikan bibit yang bagus kepada para petani rakyat agar ketika panen bisa menghasilkan produk berkualitas yang dijual ke perusahaan.

"Perbaikan di kelapa sawit membuat ada peningkatan pendapatan hingga 37 persen. Jadi focusing dari produk yang ada di PTPN menjadi kunci. Karena banyak produk-produk di PTPN, seperti coklat di Banyuwangi yang tidak punya nilai kekuatan untuk bermain di global maupun lokal, karena effort-nya dibandingkan kelapa sawit sangat jauh," papar Erick.

Baca juga: Sejarah Indosat: BUMN yang Dijual ke Singapura di Era Megawati

(Sumber: Kompas.com, Penulis: Yohana Artha Uly | Editor: Bambang Djatmiko)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com