Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Irvan Maulana
Direktur Center of Economic and Social Innovation Studies (CESIS)

Peneliti dan Penulis

Adu Kuat Politik Kelapa Sawit Indonesia-Malaysia

Kompas.com - 08/07/2022, 10:37 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SIAPAPUN pasti sedih menyaksikan petani sawit dengan terpaksa menjual tandan buah segar (TBS) kelapa sawit ke Malaysia yang diangkut menggunakan truk dan perahu.

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan juga mengungkapkan keprihatinannya pada petani sawit karena harga TBS sudah di bawah Rp 1.600 per kg, bahkan ada yang di bawah Rp 1.000 per kg.

Tak ketinggalan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan ikutan geram lantaran minyak kelapa sawit Indonesia diatur oleh negara lain. Padahal, Indonesia merupakan penghasil minyak nabati terbesar di dunia.

Dalam kondisi seperti saat ini, muncul beberapa pertanyaan bagaimana sebenarnya hubungan yang terjalin antara Malaysia dan Indonesia dalam mengkoordinir pasar sawit dunia?

Jenis persaingan apa yang membentuk kebijakan di kedua negara? Dan jenis kolaborasi seperti apa yang dilakukan kedua negara untuk mengendalikan harga sawit dunia?

Fakatanya, sudah sejak lama sebenarnya Malaysia dan Indonesia bersaing dan berkolaborasi pada waktu yang bersamaan dalam kontestasi politik kelapa sawit.

Sebab kita sama-sama tahu produksi minyak sawit memainkan peran penting dalam perekonomian Malaysia dan Indonesia.

Minyak sawit menyumbang rata-rata 8 persen dari total ekspor Indonesia, sehingga menjadikannya komoditas ekspor terbesar ketiga di Indonesia setelah batu bara dan minyak bumi.

Sedangkan di Malaysia, minyak sawit menyumbang rata-rata 5 persen dari total ekspor.

Dalam hal persaingan, Malaysia dan Indonesia sama-sama menempatkan produksi minyak sawit sebagai prioritas kebijakan di tingkat nasional.

Pertama, kedua negara mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa hasil kelapa sawit mereka memiliki kualitas yang baik dan mematuhi prinsip-prinsip keberlanjutan yang disyaratkan oleh pembeli.

Untuk itu, pemerintah Malaysia melalui Malaysian Palm Oil Board (MPOB) menetapkan kebijakan untuk mendongkrak posisi minyak sawit Malaysia dalam rantai nilai global.

Kebijakan ini mencakup pengembangan kapasitas dalam negeri, termasuk mengadopsi program penelitian dan pengembangan berorientasi pasar dan industri yang kuat, melakukan alih teknologi dan mengkomersialkan hasil penelitian.

Ilustrasi kelapa sawitSHUTTERSTOCK/KYTan Ilustrasi kelapa sawit
Kebijakan MPOB juga mencakup kemitraan eksternal dalam hal menjalin kemitraan aktif dalam pengembangan dan pemanfaatan teknologi dengan sektor swasta dan publik, memperkuat hubungan internasional dan kolaborasi penelitian dan mempromosikan kesadaran global, apresiasi dan permintaan untuk kelapa sawit.

Malaysia menunjuk dewan khusus untuk mengamankan produksi kelapa sawit. Sedangkan Indonesia sebelumnya memasukkan kelapa sawit sebagai bagian dari Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011–2025.

Pemerintah Indonesia percaya bahwa mengembangkan kemampuan hulu dan hilir akan memungkinkan negara untuk menghasilkan output berkualitas tinggi dengan harga yang kompetitif.

MP3EI menjabarkan tiga pilar untuk meningkatkan nilai minyak sawit Indonesia: (1) penyempurnaan regulasi dan kebijakan; (2) peningkatan konektivitas melalui perbaikan infrastruktur; dan (3) pengembangan sumber daya manusia serta ilmu pengetahuan dan teknologi (Kemenko Perekonomian, 2011).

Namun, road map ini tak bertahan lama. Kemudian diganti dengan Crude Palm Oil Supporting Fund (CSF), yang bertujuan untuk (1) memperkuat produksi minyak sawit petani kecil; (2) meningkatkan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan; dan (3) memantau produksi minyak sawit (Sari, 2015).

Strategi ini menuai kritik karena dapat menyebabkan penurunan pendapatan nasional dan melemahkan daya beli petani kecil.

Kedua, terkait pembentukan CSF Indonesia, persaingan kedua negara juga dapat dilihat dari kebijakan tarifnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com