Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masalah Perlindungan Pekerja Anak Masih Kompleks, Bagaimana Solusinya?

Kompas.com - 31/10/2022, 16:15 WIB
Kiki Safitri,
Yoga Sukmana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Beberapa tahun terakhir, terungkap beragam kasus keterlibatan pekerja anak yang menjurus ke arah eksploitasi. Isu tersebut merupakan satu dari lima isu prioritas pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.

Menekan angka pekerja anak, masih menjadi tugas rumah bagi pemerintah Indonesia. Perhatian pemerintah pun cukup serius dalam menangani masalah pekerja anak. Analis Pelindungan Hak Sipil dan HAM Balitbang Hukum dan HAM Sabrina Nadilla mengatakan, isu pekerja anak merupakan hilir dari permasalahan yang kompleks dan berkelindan.

“Dari sisi struktur hukum terdapat ketidakseragaman batas usia anak di beragam peraturan perundang-undangan. Di sisi kultur, anggapan mengenai anak dan kedewasaan yang tentu berbeda di tiap komunitas masyarakat. Alhasil, isu ini menjadi fenomena gunung es, dengan intervensi yang bersifat rekatif, sehingga gagal menyentuh akar permasalahan,” kata Sabrina dalam siaran pers, Senin (31/10/2022).

Baca juga: Menko PMK ke PUPR: Infrastruktur Ekonomi Sudah Lebih dari Cukup, Prioritaskan Infrastruktur Kerakyatan

Sabrina menyebutkan, kajian yang sedang dilakukan Balitbang Hukum dan HAM menemukan bahwa kompleksitas isu pekerja anak belum diimbangi dengan mekanisme penanganan yang mapan dalam merespons permasalahan anak.

Pemahaman yang berbeda-beda dan tidak menyeluruh dalam interpretasi kebijakan baik di level pusat, daerah, maupun lokal, menjadikan intervensi isu pekerja anak di sektor pariwisata anak dilakukan secara sporadis dan parsial.

“Masalah ini dapat menemui titik terang ketika penerjemahan norma HAM yang bersifat universal, berjalan beriringan dengan infusi nilai sosio-kultural yang hidup di tengah masyarakat,” jelasnya.

Hal tersebut menegaskan kebutuhan akan kebijakan holistik yang mampu menangkap keragaman karakteristik industri pariwisata di masing-masing wilayah, mengingat proses sosial di masyarakat yang juga beragam dalam memandang isu ini.

Baca juga: BI Sebut 2 Ancaman Ini yang Membuat Dunia Tidak Baik-baik Saja

“Budaya, dalam hal ini, diharapkan mampu menjadi wahana pertalian nilai-nilai hak asasi manusia lokal dan internasional,” lanjut dia.

Sabrina mengungkapkan, hal yang bisa dilakukan pertama-tama adalah membentuk sebuah forum komunikasi multi-stakeholder dan lintas sektor untuk menyamakan persepsi mengenai keterlibatan anak di aktivitas kepariwisataan.

Di saat yang bersamaan, setiap upaya intervensi yang digagas harus memiliki semangat kerja bottom-up. Proses kebijakan yang dapat membuka ruang partisipasi masyarakat menjadi prasyarat penting dalam keberhasilan strategi ini.

"Dengan pendekatan bottom-up, komunitas dapat mendorong pemaknaan hak asasi manusia yang terkandung dalam keseharian masyarakat setempat, termasuk di dalam aktivitas kepariwisataan. Harapannya, otoritas daerah dapat menentukan prioritas kebijakan hak asasi manusia, dan mengadopsi pendekatan yang cocok dengan kebutuhan wilayah masing-masing," tegas Sabrina.

Baca juga: Syarat dan Modal Buka Usaha Pisang Goreng Legend

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com