Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Menimbang dan Mengevaluasi Keberadaan Perusahaan Pinjol

Kompas.com - 08/06/2023, 08:42 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

OTORITAS Jasa Keuangan (OJK) berencana mencabut kebijakan moratorium pinjaman online (pinjol), yang telah diberlakukan sejak tahun 2020 lalu karena banyaknya pengaduan masyarakat.

Menurut OJK, ada beberapa sebab mengapa moratorium pinjol sudah bisa dihentikan. Pertama, jumlah pinjol ilegal sudah menurun, meski tidak bisa diberantas 100 persen.

Kedua, peluncuran peraturan baru, di mana OJK telah mengeluarkan revisi dari POJK (Peraturan OJK) No. 77/tahun 2016 menjadi POJK No. 10/tahun 2022.

Ketiga, OJK sudah memperbaiki tata kelola dari perusahaan P2P (Peer to Peer) dengan menggencarkan pemeriksaan ke 102 perusahaan pinjol yang terdaftar di OJK.

Keempat, persiapan sistem OJK, di mana pihaknya tengah menyiapkan sistem perizinan terintegrasi. Di dalamnya, menurut OJK, ada salah satu modul yang telah disiapkan, yaitu modul perizinan P2P Lending (Peer to Peer Landing).

Senada dengan OJK, Kementerian Keuangan nampaknya mengamini rencana OJK tersebut. Menurut Wakil Menteri Keuangan, yang sekaligus anggota Komisioner OJK, Suahasil Nazara, rencana penghentian moratorium sudah bisa diwujudkan karena sudah ada kelembagaan yang jelas di dalam OJK, khusus mengurus hal-hal terkait dengan pinjol.

Hal itu dapat terwujud lewat dua kepala eksekutif baru OJK yang kini proses seleksinya masih dijalankan, kata Suahasil. Kedua posisi itu nantinya diharapkan dapat mendorong pertumbuhan sektor financial technology (fintech).

Dua posisi tersebut adalah Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya merangkap anggota, dan Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto merangkap anggota.

Namun, secara ekonomi keuangan, saya berpendapat bahwa sudut pandang OJK masih sangat berskala domestik.

Di China, pinjol-pinjol menjelma menjadi perbankan bayangan (shadow banking) yang justru berpotensi mengalami "gelembung"/bubble, lalu menyebabkan krisis dan merugikan banyak pihak.

Pada 2018 lalu, aksi unjuk rasa besar-besaran para investor pinjol terjadi di beberapa kota besar di China, karena mereka merasa dirugikan oleh perusahaan-perusahaan pinjol.

Dana yang mereka tanamkan di platform Peer to Peer Lending (P to P Lending) tidak kembali alias lenyap bersama dengan perusahaan-perusahaan pinjolnya.

Model bisnis pinjol yang sangat mencekik, membuat para nasabah kredit mikro lambat laun mengalami gagal bisnis dan berhenti membayar tagihan, yang mengakibatkan perusahaan-perusahaan pinjol mendadak mengalami krisis likuiditas, bahkan insolvent (bangkrut).

Walhasil, para investor yang dananya diganjar dengan "return" yang sangat tinggi, karena pengenaan bunga kredit tinggi, mendadak kehilangan investasi sekaligus prospek pendapatan dari investasi yang telah mereka tanamkan, lantaran sebagian besar perusahaan pinjol bangkrut (pendiri dan manajemenya biasanya kabur membawa sisa dana).

Menurut South China Morning Post tahun 2018, tidak kurang dari 800 miliar yuan atau setara dengan 122,7 miliar dollar AS dana milik investor P2P Lending China menguap begitu saja alias tak kembali.

Krisis pinjol tahun 2018 ini membuat pemerintah China sangat was-was saat anak usaha Alibaba, Ant International, melakukan IPO pada 2020 lalu.

IPO tersebut akhirnya dihentikan, hingga pihak Ant International memenuhi segala prasyarat yang diminta oleh otoritas terkait di China.

Mengapa? Karena dari eksposur laporan keuangan Ant International yang diumumkan sebelum IPO, dijelaskan bahwa komposisi asetnya sangat berisiko.

Aset yang dipegang oleh Ant International hanya 2 persen, 80 persen lainnya dijual ke perbankan-perbankan lokal di mana Ant International beroperasi dan 18 persen sisanya digunakan untuk mendapatkan dana dari pasar uang.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com